Lebih Dekat dengan Museum Perumusan Naskah Proklamasi
ERA.id - "Selamat datang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi," suara seorang wanita terdengar menyambut pengunjung sesaat setelah kaki baru saja berpijak di lokasi.
Suara yang bergema di bekas tempat tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda itu, ternyata suara dari asisten virtual di museum, yang seakan mengajak pengunjung untuk menggunakan sebuah mesin waktu yang akan membawanya kembali ke tahun 1945.
Meski lekat dengan detik-detik peristiwa proklamasi, gedung ini rupanya telah kokoh berdiri sejak tahun 1920, didirikan oleh arsitek Belanda JFL Blankenberg.
Seiring berjalannya waktu, bangunan dengan luas 1.138,10 m2 ini dikelola oleh PT Asuransi Jiwasraya pada tahun 1931, dan selanjutnya diambil alih oleh British Consul General pada Perang Pasifik hingga Jepang menduduki Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat.
Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Maeda sampai Sekutu mendarat di Indonesia, September 1945. Perlu diketahui, Maeda menempati rumah ini hanya selama tiga tahun, ketika ia berada di Indonesia.
Gedung ini pun sempat dikontrak oleh Kedutaan Inggris pada 1961-1981. Setelah itu, bangunan ini juga pernah digunakan sebagai perkantoran Perpustakaan Nasional pada 1982.
"Pada 24 November 1992, gedung ini akhirnya ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Musnaprok) karena memiliki nilai sejarah tinggi atas kemerdekaan bangsa Indonesia," kata staf sekaligus edukator di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Wahyuni, Jumat (14/8/2020).
Wanita yang akrab disapa Yuni itu kemudian membantu kami menjalankan "mesin waktu" yang ada di dalam bangunan.
Di samping asisten virtual yang menyambut pengunjung tadi, terdapat sebuah layar sentuh yang seakan bisa memandu pengunjung menyusuri detik-detik penulisan naskah proklamasi.
Gedung yang lekat dengan gaya arsitektur Eropa ini memiliki empat ruang utama di lantai satu yang bisa pengunjung telusuri secara kronologis.
Ruang I: Ruang Pertemuan, terletak tepat di samping meja registrasi museum. Terdapat empat buah kursi dan satu meja bulat yang diatur sedemikian rupa.
Ruang ini menjadi saksi bisu dari pertemuan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo setelah kembali dari Rengasdengklok, 16 Agustus 1945. Ketiganya diterima oleh Laksamana Maeda di ruang ini pada pukul 22.00 WIB.
"Setelah Maeda mengizinkan untuk meminjamkan rumah ini dipakai, ia langsung menuju ke lantai atas. Proses perumusan dan penulisan naskah proklamasi tidak ada campur tangan orang Jepang, hanya benar-benar tiga tokoh tadi," kata Yuni.
Beberapa langkah kemudian, pengunjung akan disambut oleh "sosok" dua proklamator bangsa dan Ahmad Soebardjo di Ruang II: Ruang Perumusan.
Ruang ini merupakan tempat dirumuskannya naskah proklamasi oleh ketiga tokoh bangsa tersebut.
Di dalam ruang tersebut terdapat konsep teks proklamasi tulisan tangan Soekarno yang terpampang di dinding. Di belakang meja besar di Ruang II, terdapat sebuah meja bulat yang menampilkan animasi tentang rentetan peristiwa terkait perumusan naskah proklamasi ini.
Kami kemudian melanjutkan penyusuran sejarah 75 tahun silam ke Ruang III: Ruang Pengetikan, atau "ruang bawah tangga". Di ruang ini, Ir. Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi, ditemani oleh Burhanuddin Moehammad Diah.
Ruang utama terakhir, adalah Ruang IV: Ruang Pengesahan. Di sini lah tempat disetujuinya konsep naskah proklamasi oleh sekira 40-50 orang hadirin dan tokoh bangsa yang datang, serta tempat disahkannya naskah proklamasi oleh Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Peristiwa ini berlangsung menjelang subuh di hari Jumat, 17 Agustus 1945. Naskah proklamasi sendiri ditandatangani oleh dua proklamator Indonesia di atas piano yang terletak di dekat ruang bawah tangga.
Setelah puas berkelana di tanggal 16 Agustus 1945, ANTARA segera kembali ke 14 Agustus 2020, dan menilik beberapa intisari, profil para tokoh bangsa, dan penjelasan mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia di lantai dua gedung Musnaprok.
Museum digital
Selain memiliki asisten virtual, museum ini dilengkapi banyak titik yang memanfaatkan penggunaan teknologi digital. Tiap ruang memiliki beberapa titik yang bisa dipindai melalui aplikasi, dan akan menampilkan visual dan narasi yang bisa dinikmati secara real-time.
Yuni menyebutkan, setidaknya ada 28 titik di dua lantai museum yang bisa dipindai. Aplikasi SIJI ini sendiri sudah mulai diperkenalkan sejak enam tahun silam.
Konten digital di lantai satu berupa animasi, karena peristiwa perumusan naskah proklamasi tidak ada dokumentasi seperti foto, video, atau bentuk video dokumenter.
"Sehingga berdasarkan buku sejarah, kami membuat animasi seperti ini untuk menggambarkan kejadiannya," kata Yuni.
Ia menambahkan, Musnaprok merupakan salah satu museum pertama di Jakarta yang mengadaptasi konsep "museum digital".
Terdapat pula beberapa teknologi interaktif yang inklusif dan ditujukan untuk pengunjung anak-anak. Ada dua layar sentuh yang menampilkan banyak pilihan seperti game, kuis, film, hingga tur.
"Pilihan 'tur' ini bisa digunakan khususnya bagi anak-anak dan pengunjung yang mungkin tidak bisa naik tangga ke lantai dua. Karena ini cagar budaya, jadi keasliannya harus dijaga," jelas Yuni.
Lebih lanjut, Yuni bercerita mengenai bagaimana kreativitas pengelola gedung Musnaprok untuk terus memberikan pelayanan di tengah pandemi dengan pemanfaatan teknologi.
Pengunjung di Jakarta bisa datang di hari Selasa-Jumat, dengan mematuhi protokol kesehatan, pembatasan jumlah orang, dan adanya layanan pembayaran nontunai (cashless) di beberapa pilihan dompet digital.
Namun, kondisi pandemi tidak memungkinkan rombongan seperti dari sekolah, untuk mengunjungi museum. Pengelola Musnaprok mengadakan tur virtual bagi murid-murid melalui Zoom. Yuni mengatakan, animonya cukup tinggi karena bisa menjangkau sekolah-sekolah lain di luar Jakarta, seperti Surabaya dan Blitar.
Tentu perayaan hari kemerdekaan di tahun ini pun terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Musnaprok yang biasanya mengadakan march hingga ke Tugu Proklamasi, harus meniadakan kegiatan rutin yang biasanya diikuti ribuan peserta tersebut.
"Tanggal 16 Agustus besok, biasanya ada jalan kaki dari museum ke tugu yang diikuti ribuan peserta. Sekarang, kami sebagai staf museum membuat napak tilas daring lewat kanal YouTube," ujar Yuni.
Rangkaian acaranya pun juga beragam, mulai dari pagelaran tari wayang, sosiodrama, diskusi tokoh, hingga penampilan musik oleh Kikan eks Cokelat dan dilengkapi dengan sesi bincang-bincang.
Selain berpacu dengan perubahan zaman, mengadaptasi berbagai teknologi digital ke dalam sebuah bangunan kuno dan bersejarah sendiri dilakukan pihak museum untuk terus menggaet minat generasi muda, serta mempermudah akses tentang sejarah bangsa secara luas.
Yuni mengatakan, saat ini sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak belajar dan mencintai sejarah Indonesia.
"Dulu mungkin sejarah hanya bisa ditelusuri lewat buku, pelajaran di sekolah. Namun sekarang sudah ada banyak cara. Sesuaikan dengan hobi. Misalnya suka nonton film, membaca buku cerita bergambar, dan lainnya. Dunia juga ada di tangan kita melalui gadget yang bisa dimanfaatkan," ujar wanita berhijab itu.
"Yuk, kita tumbuhkan minat kita, rasa ingin tau kita tentang bangsa ini. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang bisa? Ketika kita semakin cinta dengan negeri ini, kita akan melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara," pungkas Yuni.
Suara Yuni bergema di tengah hari itu. Semangatnya terasa membaur dengan atmosfer dan saksi-saksi bisu di lokasi. Bagaimana samar-samar kebisingan perumusan dan menjelang pembacaan proklamasi, seakan terdengar kembali memenuhi bangunan itu selayaknya 75 tahun silam.