Tiga Tempat Bersejarah di Menteng Ini Jadi Saksi Bisu Detik-Detik Kemerdekaan RI
ERA.id - Tepat 75 tahun lalu Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan. Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat bisa tapak tilas dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang bisa dikunjungi secara kronologis.
Berikut adalah tiga tempat yang bisa dikunjungi untuk mengenang jasa para pahlawan dan merasakan detik-detik jelang dikumandangkannya naskah proklamasi untuk pertama kalinya.
1. Museum Gedung Joang '45
Museum Gedung Joang '45 yang terletak di Jl. Menteng Raya 31, Jakarta Pusat ini menyimpan sejumlah catatan sejarah mengenai berbagai peristiwa menjelang kemerdekaan RI.
Gedung Joang 45 awalnya merupakan salah satu bangunan hotel terkenal di Batavia bernama Schomper Hotel, yang dioperasikan sekitar tahun 1938.
Hotel ini dinamai dan dikelola oleh pemiliknya, serorang wanita Belanda bernama L.C. Schomper. Ia membangun hotel itu khusus untuk para pedagang asing dan para pejabat tinggi Belanda yang singgah di Batavia.
Ketika pendudukan Jepang, hotel ini diambil alih oleh Ganseikanbu Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang) pada 1942, dan diserahkan kepada para pemuda Indonesia.
Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh, dan A. M. Hanafi, menjadikan Gedung Menteng 31 sebagai Asrama Angkatan Baroe Indonesia (ABI) dan menjadikannya pusat kegiatan gerak cepat komando pemuda antara pusat dan daerah.
Asrama itu berfungsi sebagai tempat pendidikan politik kebangsaan, yang pengajarnya antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Moh. Yamin, Ahmad Soebarjo, hingga Ki Hajar Dewantara dan Amir Syarifudin.
Sementara, tokoh-tokoh muda pada saat itu, seperti Sukarni, Chaerul Saleh, A. M. Hanafi, Wikana, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Armunanto, Maruto Nitimihardjo, Kusnaeni, Djohar Nur, Ismail Wijaya, dan Burhanuddin Mohammad Diah, dikenal sebagai "Pemoeda Menteng 31".
Para "Pemoeda Menteng 31" merupakan aktor-aktor dibalik penculikan Soekarno, Hatta dan Fatmawati ke Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan.
Sebelum diresmikan sebagai museum oleh Presiden Soeharto pada 19 Agustus 1974, gedung ini pernah beralih fungsi. Mulai dari asrama para pekerja wanita, Kantor Kementerian Pengerahan Tenaga Rakyat (1957-1960), Kantor Dewan Harian Nasional Angkatan '45 yang diketuai oleh Chaerul Saleh (1960-1965), hingga dijadikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Pengunjung akan langsung disambut dengan tokoh-tokoh bangsa sesaat setelah membuka pintu museum. Terdapat pula beberapa diorama, lukisan, foto-foto dan patung dada dari para tokoh pergerakan kemerdekaan.
Koleksi lainnya yang terdapat di museum ini adalah tiga kendaraan kepresidenan yang digunakan Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.
Untuk tiket masuknya sendiri hanya seharga Rp5.000 per orang, dan menggunakan kartu JakCard.
2. Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Musnaprok) yang terletak di Jl. Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat ini rupanya telah kokoh berdiri sejak tahun 1920, didirikan oleh arsitek Belanda JFL Blankenberg.
Seiring berjalannya waktu, bangunan seluas 1.138,10 m2 ini dikelola oleh PT Asuransi Jiwasraya pada tahun 1931, dan selanjutnya diambil alih oleh British Consul General pada Perang Pasifik hingga Jepang menduduki Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat.
Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Maeda sampai Sekutu mendarat di Indonesia, September 1945.
Gedung ini pun sempat dikontrak oleh Kedutaan Inggris pada 1961-1981. Setelah itu, bangunan ini juga pernah digunakan sebagai perkantoran Perpustakaan Nasional pada 1982.
Pada 24 November 1992, gedung ini akhirnya ditetapkan sebagai (Musnaprok).
Gedung yang lekat dengan gaya arsitektur Eropa ini memiliki empat ruang utama di lantai satu yang bisa pengunjung telusuri secara kronologis.
Mulai dari ruang pertemuan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo serta Laksamana Maeda, ruang perumusan naskah proklamasi, ruang pengetikan, dan ruang pengesahan.
Terdapat banyak layanan digital yang dapat dinikmati oleh pengunjung untuk mendapatkan informasi secara langsung dan menyenangkan. Misalnya saja asisten virtual, pembayaran cashless, pemindaian informasi lewat aplikasi, hingga tur virtual.
Pengunjung hanya perlu membayar Rp2.000 per orang untuk menikmati layanan di museum.
3. Tugu Proklamasi
Tugu Proklamasi berdiri di kompleks Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Taman tersebut berlokasi di bekas kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, yang merupakan lokasi pembacaan proklamasi kemerdekaan pada tepat 75 tahun silam hari ini.
Terdapat tiga tugu peringatan yang berlokasi di Taman Proklamasi, yaitu Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, Tugu Petir, dan Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta.
Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia adalah monumen pertama yang dibangun di Taman Proklamasi. Tugu ini diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir selama masa pendudukan sekutu.
Terdapat tulisan "Atas Oesaha Wanita Djakarta", penggambaran naskah kemerdekaan Indonesia, dan peta Indonesia. Tak lama setelah itu, peringatan itu diganti namanya menjadi Tugu Proklamasi.
Tugu Proklamasi diprakarsai oleh beberapa tokoh perempuan Indonesia yang tergabung dalam Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan Wanita Indonesia.
Selanjutnya, ada Tugu Petir setinggi 17 meter. Ia dinamai Tugu Petir lantaran di atasnya terdapat simbol petir.
Monumen peringatan ini menandai tempat di mana Sukarno berdiri sambil membaca teks proklamasi. Di dasar monumen tersebut terdapat tulisan logam "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
Terakhir, Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta. Monumen ini menggambarkan dua patung perunggu Sukarno dan Hatta berdiri berdampingan, dengan postur yang disesuaikan dari dokumentasi foto ketika proklamasi pertama kali dibaca.
Keduanya mengapit lempengan batu perunggu, yang menggambarkan manuskrip proklamasi kemerdekaan Indonesia.