Kenapa Sih RCTI Ingin Live Medsos Ditiadakan? Ini Alasannya!

ERA.id - Pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bilang kalau permohonan pengujian Undang-Undang Penyiaran dari RCTI dikabulkan, masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

Menurut Kemenkominfo lagi, orang atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu, menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Belum lagi pembuat konten siaran melintasi batas negara sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia. Itu artinya, live di platform media sosial apa saja, terutama Youtube, dianggap terlarang nantinya, jika tak ada izin.

Kenapa sih RCTI bersikap seperti itu? Hal itu disebabkan, RCTI merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran. Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.

Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Sementara bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet, tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," ujar Imam. "Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan over the top (OTT) yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) lalu di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Sekadar diketahui, PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, mereka mempersoalkan Pasal 1 angka 2 UU tersebut.

Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet.

Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran dianggap hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan. 

“Sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” tandas Imam Nasef.

Saat itu, pemohon meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 Angka 2 UI Penyiaran menjadi, "Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”