Pers dan Orde Baru
Kala itu, Rezim Orde Baru dapat dikatakan berhasil mewujudkan harapan masyarakat tadi. Antara lain dapat terlihat pada aspek ekonomi yang kian hari kian pesat perkembangannya. Belum lagi dalam aspek pemenuhan pangan masyarakat yang sangat menonjol selama Soeharto duduk menduduki kekuasaan.
Namun, beda cerita jika kita teliti dengan perkembangan pers masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Menurut Raden Mas Djokomono, seorang tokoh penting dalam kelahiran pers nasional, pers merupakan sesuatu yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Dalam hal ini jelas terlihat jika pers memiliki peranan penting dalam membentuk opini masyarakat.
Pada era pemerintahan Soeharto, kebebasan pers diterapkan dengan sistem pers Pancasila serta didukung pula dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982.
Kebijakan tersebut rupanya hanyalah sebuah kamuflase. Karena pada kenyataannya pers seakan dihantui bayang-bayang pemerintah. Pers tidak diperbolehkan memberitakan berita miring seputar pemerintahan. Jika ada yang berani mengkritik dan mempublikasikan maka sanksi keras akan siap datang kepada penerbitan yang bersangkutan, misalnya pembredelan.
Tentu saja dampak dari sikap pemerintah tersebut menjadikan pers tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Isi berita cenderung lebih seragam dengan tema yang pro pemerintah. Pers pada Orde Baru layaknya partner of power pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.
Bila dikategorikan dalam teori pers yang diungkapkan Fred S. Siebert dalam buku yang berjudul Four Theories of the Press, pers era Orde Baru rasanya akan pas berada dalam teori pers otoriter dan teori pers tanggung jawab sosial. Mengapa? Pertama jika mengenai teori pers otoriter, hal tersebut akan terlihat dari ciri utama sistem pers otoriter itu sendiri yang memfungsikan pers sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Teori pers otoriter muncul pada masa Renaissance. Berkembang dari filsafat kekuasaan monarki absolut dan kekuasaan pemerintah absolut.
Hingga kini, di beberapa negara teori pers otoriter masih diterapkan guna berjalannya kebijakan pemerintahan yang sesuai. Kedua, teori pers tanggung jawab sosial yang tergambar dari sebutan pers nasional adalah pers bebas dan bertanggung jawab, pers diberikan kebebasan dalam memberikan berita mengenai isu-isu terkini namun harus tetap bertanggung jawab atas yang diberitakan. Pertanggung jawaban pers dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Pers, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Kode Etik Jurnalistik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sikap otoriter terhadap pers sebenarnya telah ditunjukan Soeharto usai tragedi berdarah G30S tahun 1965. Jenderal Soeharto melakukan pembredelan terhadap surat kabar PKI dan yang diduga terkait dengan komunis. Pemerintah jauh lebih represif pasca Malari 1974, surat kabar dan majalah yang dilarang terbit karena dianggap mengganggu kestabilan politik dan keamanan serta kehidupan Soeharto kala itu yakni harian Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, harian KAMI, The Jakarta Times, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia dan Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), Suluh Berita (Surabaya), Pos Indonesia (Ujung Pandang), serta Sinar Harapan. Padahal larangan tindakan pembredelan telah tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966, Bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi “terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”.