Popcorn: Dari Makanan Kumuh Sampai Menyentuh Teater Mewah Bioskop
ERA.id - Entah dari tahun kapan, di Indonesia, popcorn identik dengan bioskop. Itu budaya Eropa, memang. Namun, bagaimana sih perjalanan popcorn itu mengapa bisa sampai masuk ke ruang-ruang gelap teater bioskop?
Dilansir dari Smithsonianmag.com dan mengutip buku Popped Culture, popcorn ditemukan di Amerika Selatan dengan sejarah panjang produksi makanan berbasis jagung di Amerika Tengah. Ada dua jagung untuk popcorn yakni jagung putih dan jagung kuning.
Perkembangan perdagangan akhirnya membawa biji-biji jagung dua warna itu menuju utrara, lebih tepatnya Amerika Utara. Andrew Smith selaku penulis buku itu menyatakan bahwa para penangkap ikan paus dari Amerika Utara menemukan popcorn di Chili di awal abad ke-19.
Para penangkap ikan paut itu membawa popcorn ke wilayah Amerika Serikat. Dari sinilah, popcorn mulai mendapat tempat di lidah orang-orang Amerika secara tidak langsung. Ia berubah menjadi camilan kesukaan.
Dulunya, dilansir dari MentalFloss, popcorn dapat diakses di berbagai tempat seperti sirkus, festival, dan tempat hiburan lainnya di Amerika Serikat pada tahun 1800-an. Kemudian bagaimana dengan teater atau bioskop?
Dulunya, bioskop tidak mau menjual dagangan jalanan murahan seperti itu. Bioskop pada masa lalu sudah diidentikkan dengan kemewahan. Dilansir dari Filmmakeriq.com, industri film beserta bioskop ingin memberikan kesan yang berkelas kepada para konsumen.
Bioskop memang sejak awal berkonsep lobi besar, perabotan elegan seperti lampu gantung, dan tentu saja karpet mewah. Pihak manajemen bioskop tidak menginginkan kotoran dan aroma yang ditimbulkan oleh popcorn, masuk ke dalam ruangan mereka.
Walau diawasi dengan ketat, masa perlahan-lahan berubah. Berbagai lapisan kelas masyarakat yang ingin menonton bioskop, menyelundupkan popcorn dari luar hingga masuk ke teater gelap dalam bioskop.
Transisi
Akhirnya, bioskop luluh dan dilumat zaman. Idealismenya luntur di hadapan potensi keuntungan yang berlipat. Awlanya, bioskop tidak mengakomodasi mesin popcorn pertama karena teater tidak memiliki ventilasi yang baik.
Tetapi karena semakin banyak pelanggan datang ke teater dengan popcorn di tangan, pemilik tidak dapat mengabaikan daya tarik finansial dari menjual camilan tersebut.
Jadi, mereka menyewakan "hak istimewa lobi" kepada penjual, dan memungkinkan mereka untuk menjual popcorn di lobi teater mereka (atau lebih mungkin di jalan kecil di depan teater) dengan biaya harian.
Vendor tidak mengeluh tentang pengaturan ini— menjual popcorn di luar teater memperluas potensi bisnis mereka, karena mereka bisa menjualnya kepada penonton bioskop dan orang-orang di jalanan.
Akhirnya, bagi banyak bioskop, transisi ke menjual makanan ringan membantu menyelamatkan mereka dari depresi ekonomi. Pada pertengahan tahun 1930-an, bisnis bioskop mulai bangkrut. "Tapi mereka yang mulai menyajikan popcorn dan makanan ringan lainnya," jelas Smith, "selamat."
Dari Mentalfloss.com, tahun 1927 menjadi pengubah wajah bioskop untuk selama-lamanya. Masyarakat Amerika saat itu memilih menonton film untuk menghibur dirinya di samping krisis ekonomi yang dinamakan dengan Great Depression.
Popcorn, karena murah, otomatis menjadi makanan pilihan pengunjung bioskop. Bunyi "pop" di mulut sewaktu mengunyah berondong jagung, membuat mereka nyaman menikmati film dan menjauhkan diri mereka dari kenyataan krisis sementara.
Kita wajib berterima kasih pada popcorn, karena ia berhasil menyelundupkan dirinya menuju tempat mewah yang mengajaknya turun sejajar dengan seluruh masyarakat dalam penikmatan hiburan.
Pada akhirnya cemilan tersebut melekat dalam menonton layar lebar, dan bioskop mulai menjual popcorn untuk menambah keuntungan mereka.