Stadion GBK Rusak, Revolusi Mental Terkoyak
Mental suporter sepak bola Indonesia dianggap masih berada di titik rendah. Rasa memiliki dan mencintai tim kesayangan, kerap disalahartikan menjadi sebuah fanatisme berlebihan. Kekecewaan mendalam akibat tidak mendapatkan apa yang diinginkan, bukan berarti harus dilampiaskan dengan merusak fasilitas umum.
Sosiolog Universitas Negeri Malang, Abdul Kodir menjelaskan, fanatisme sepak bola hampir ada di setiap lapisan suporter sepak bola di seluruh penjuru dunia. Secara sosial, kata Abdul, bisa disebabkan tingkat pendidikan yang berada di bawah rata-rata. Akhirnya bikin mereka tidak berpikir untuk menjadi suporter yang baik.
"Menurut saya, fanatisme itu hal yang tidak bisa dikontrol oleh suporter sepak bola. Ketika dalam kerumunan, ada seorang yang memicu satu aksi, itu menyebabkan orang lain mengikuti tindakannya. Ketika seseorang memancing atau memicu, maka yang lain akan ikut," imbuhnya.
Perilaku seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan suporter sepak bola Tanah Air. Di berbagai belahan dunia lain juga kerap terjadi. Pecinta Liga Italia era 80-90an pasti tahu peristiwa yang terjadi menjelang Piala Dunia 1990 saat Juventus membeli bintang Fiorentina, Roberto Baggio dengan rekor transfer – saat itu – 8 juta poundsterling.
Seisi kota Firenze meradang. Pendukung yang marah bahkan melampiaskannya lewat aksi-aksi kekerasan di jalanan kota. Bendera-bendera Juventus dibakar dan sekitar 50 orang terluka. Juventus dituduh ‘mencuri’ bintang kesayangan mereka.
Ketika Baggio kembali ke Firenze pada musim berikutnya, penjagaan terhadapnya begitu ketat. Suasana stadion terasa mencekam karena pendukung Fiorentina masih geram. Puncaknya, ketika Juventus mendapat hadiah penalti, Baggio - spesialis eksekutor penalti Juventus - tiba-tiba menolak jadi algojo.
Thomas Haesller, rekan setimnya kala itu, memaklumi Baggio. "Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, baru saat itulah saya merasakan bertanding tak cuma lawan 11 orang. Tapi menghadapi seisi stadion," kata gelandang asal Jerman, dikutip dari La Gazzetta dello Sport.
Tapi, suporter sepak bola Indonesia tidak harus berkiblat kepada fanatisme suporter sepak bola Italia atau liga-liga dunia lain. Jika mental ini tidak bisa diperbaiki, gerakan pemerintah untuk memperbaiki karakter Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik, hanyalah sebuah kata-kata.