Dari Coret Dinding KBU, Apa Kenanganmu Saat Menelpon di Wartel?
ERA.id - Tahun 1990-2000an, kita begitu akrab dengan telepon koin dan warung telepon atau wartel. Biasanya, kita menelpon kekasih, teman sekolah, atau keluarga, lewat bilik penghubung yang melegenda tersebut.
Ingat tidak, kalau kita punya uang pas-pasan, kita dengan cepat mesti mematikan telepon kalau durasi pembicaraan kita sedikit lagi melompat ke harga yang lebih dari uang yang kita bawa. Wah, kalau diingat-ingat, lucu juga ya.
Banyak kenang-kenangan lewat bilik wartel. Biasanya, saat menelpon, kita iseng-iseng menulis nomor telepon di bilik atau tembok wartel untuk mencatat nomor seseorang. Tak lupa, kita memainkan kabel telepon yang keriting itu. Ingat tidak?
Sekadar diketahui, di dalam wartel, terdapat kamar bicara umum (KBU) berisi pesawat telepon untuk digunakan pemakai jasa. Telepon di dalam KBU bisa digunakan untuk pembicaraan telepon lokal, antarwilayah, interlokal (SLJJ), maupun sambungan langsung internasional.
Biaya pemakaian jasa telekomunikasi dibayar langsung di tempat oleh konsumen, sesuai tarif pulsa yang berlaku ditambah tarif pelayanan.
Penyelenggaraan jasa wartel paling sedikit menggunakan dua sambungan telekomunikasi. Pemilik wartel adalah perorangan, badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik swasta, atau koperasi. Pemilik wartel bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) yang berdiri sejak tanggal 8 Januari 1992.
Wartel adalah bisnis yang menggiurkan dulunya. Bayangkan, dalam catatan Telekomunikasi Indonesia yang terbit 1997, tertulis bahwa ketika awal dibuka pada 1984-1988, jumlah wartel yang tersedia baru 48 buah. Pada 1989, jumlahnya naik tajam, mencapai 128 buah dan pada akhir tahun 1993 jumlah wartel di Indonesia mencapai 1190 buah.
Usaha wartel dan telepon umum terus tumbuh subur di masyarakat. Pada akhir 1990-an, ketika telepon seluler (ponsel) mulai masuk, telepon umum dan wartel masih bertahan. Pasalnya, hanya anak gedongan dan orang-orang berduit yang bisa membeli ponsel.
Masuk era 2000-an, wartel mulai kehilangan taji dan pamornya. Perusahaan ponsel kian menggeliat, seperti Nokia. Belakangan, Blackberry muncul. Kalau diingat, rentetannya tidaklah jauh. Lagipula, perusahaan ponsel menawarkan harga yang cenderung bisa diatasi oleh semua kelas. Apalagi, counter-counter menawarkan kredit yang mempermudah kita memiliki ponsel.
Akhirnya, keintiman terhadap wartel pun sirna dan kita hanya bisa mengenangnya sekarang. Benar, zaman memang tak bisa dilawan.