Membedah Kesalahan dalam Film G30S/PKI Produksi Orde Baru
ERA.id - Saban akhir September isu soal Partai Komunis Indonesia (PKI) kian marak dibahas. Apalagi hari minggu kemarin, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI.
Adegan dan narasi kekejaman PKI selalu ditonjolkan dalam film tersebut. Efeknya sangat beragam kepada publik. Kekejaman demi kekejaman dipertontonkan dalam film tersebut.
Film Pengkhianatan G30S/PKI dirilis rilis pada 1984, film ini bahkan wajib ditonton oleh para siswa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) di seluruh Indonesia. Seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru, film tersebut disetop penayangannya.
Belakangan, setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, sejarawan mencatat, ada beberapa kesalahan dalam film tersebut yang akhirnya membuat diskursus baru dalam dunia pendidikan kita. Apa saja kesalahannya?
DN Aidit perokok
DN Aidit bukan perokok dan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok.
Kenyataannya, Aidit justru menganjurkan kawan-kawannya untuk mengurangi rokok demi kesehatan finansial partainya. Itu dicatat dalam "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" pada 5 Januari 1959. Aidit mengatakan, akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI.
Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dlaam keluarganya, tak ada perokok. Begitu pula ayahnya. "Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda.
Kekejaman kepada jenderal
Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, dilukiskan bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya, disiksa seperti disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta.
Konon, laporan-laporan berita yang dimuat Berita Yudha pada 9 Oktober 1965, menginspirasi pembuat film tersebut yakni Arifin C. Noer. Koran milik tentara itu menulis kalau para jenderal dicukil matanya serta alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)--organ perempuan yang menjadi bagian dari PKI.
Nyatanya, dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak.
Visum yang dilakukan dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan, tidak ada bekas penyiksaan seperti yang marak dikabarkan dalam film itu. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali.
Bung Karno sakit
Di film Pengkhianatan G30S/PKI, Presiden Sukarno dikisahkan tengah sakit keras. Bung Karno (yang diperankan Umar Khayam) juga digambarkan seperti orang bingung karena selalu berjalan bolak-balik.
Faktanya, dilansir Historia.id, saat itu Soekarno sehat-sehat saja. Memang sempat ada isu beredar bahwa Soekarno sakit keras, namun kehadiran Soekarno di sejumlah kegiatan seremonial membantah isu tersebut. Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta.
Tarian Gerwani
Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, ada adegan orang menari di Lubang Buaya yang dituding dilakukan aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, penggamabaran itu adalah propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata.
Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri, walau punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut.
Suharti, salah satu eks Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal.
Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah, Bungkus menyatalan tak ada tarian di Lubang Buaya.
Peta di Ruang Kostrad
Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, ada adegan yang menggambarkan Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pasca-terjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Anehnya, di sana, terpampang peta Indonesia yang sudah memasukkan Timor Timur.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa menuliskan bahwa tahun 1965/1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI. “Jadi peta yang ada di sana bersifat anakronis,” ujar Asvi.