Waspada, Ratusan Daerah Rawan Korupsi Pilkada
This browser does not support the video element.
Temuan ini diungkap oleh Indonesia Budget Center (IBC) bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Minggu (24/2/2018) di gedung Bawaslu, Menteng, Jakarta Pusat.
"Dari 17 provinsi yang menyelenggarakan pilkada gubernur dan wakil gubernur, terdapat 10 provinsi dengan kategori sangat rawan," kata Deputi IBC Ibeth Koesrini.
10 provinsi itu adalah Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Papua, dan Maluku Utara.
Selain itu, 5 provinsi dinyatakan sebagai kategori rawan, dan 2 provinsi dengan kategori sedang. Provinsi rawan ialah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sementara Sumatera Utara dan Sulawesi Tenggara termasuk provinsi sedang.
Tak hanya terjadi di level provinsi, kerawanan korupsi Pilkada juga terjadi di level kabupaten/kota. Dari 115 Pilkada kabupaten/kota, terdapat 95 kabupaten/kota dengan kategori sangat rawan. Selanjutnya, 35 kabupaten/kota dinyatakan rawan, dan 29 kabupaten/kota masuk kategori sedang.
Besarnya potensi korupsi pilkada ini dikarenakan banyaknya petahana yang maju lagi dalam Pilkada Serentak 2018. Hadirnya calon petahana, juga akan membuka pemanfaatan APBN/APBD untuk kepentingan politik suatu pihak.
"Fenomena hadirnya kembali kandidat petahana dan kandidat yang memiliki relasi kekuasaan di lingkungan pemerintah pusat dan daerah mengindikasikan semakin terbukanya pemanfaatan APBN/APBD dan berbagai fasilitas negara yang diarahkan untuk menguntungkan salah satu pasangan kandidat," ujar Ibeth.
Selain itu, naiknya dana bantuan sosial dan dana hibah juga menjadi pendorong terjadinya korupsi Pilkada. Di Jawa Tengah misalnya, dana bansos dan hibah mencapai Rp5,6 triliun pada 2018. Jumlah ini naik dari tahun sebelumya yang hanya Rp5,3 triliun.
Kenaikan juga terjadi di Jawa Timur. Sebelumnya, dana bansos dan dana hibah Rp6,6 triliun. Tahun 2018 melonjak hingga Rp7,5 triliun.
Ibeth menambahkan, adanya pasangan calon tunggal di sejumlah kabupaten yang melawan kotak kosong juga menjadi alasan tingginya kerawanan korupsi Pilkada.
Oleh karenanya, pihaknya menyarankan supaya Bawaslu dapat meningkatkan pengawasan melalui satgas anti politik uang yang sebelumnya telah mereka bentuk bersama Polri.
"Kami mengusulkan, mungkin Bawaslu bersama pihak-pihak ini (satgas) untuk meningkatkan pengawasan terhadap kandidat petahana dan kandidat yang memiliki relasi kuasa yang kuat untuk memanfaatkan fasilitas dan anggaran politik bagi pemenangan," ucap Ibeth.