Sinematek, Gudang Film Lawas Indonesia

This browser does not support the video element.

Jakarta, era.id - Tahun 1926 jadi pijakan penting dalam perfilman Indonesia. Di tahun itu, Loetoeng Kasaroeng, film karya sutradara asal Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp dibuat.

Meski begitu, Loetoeng Kasaroeng bukan murni karya anak bangsa. Film buatan anak pertama lahir pada 30 Maret 1950, diprakarsai Usmar Ismail dengan judul Long March of Siliwangi. Lalu, dimana film-film lawas itu sekarang?

Sejak tahun 1975, seluruh karya film anak bangsa diarsipkan di Sinematek Indonesia, lembaga yang dilahirkan sebagai lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara. Sinematek Indonesia layaknya surga bagi pecinta film lawas.

Koleksi di Sinematek amat beragam, mulai dari jenis film hingga media penyimpan film. Salah satu yang menggoda setiap mata pengunjung adalah pita seluloid yang merupakan media penyimpan film lawas.

Pita seluloid sendiri disimpan dan dirawat dalam ruangan khusus penyimpanan dan perawatan yang bersuhu antara 7-10 derajat Celsius dengan kelembaban 45-60% RH.

Ruangan khusus penyimpanan dan perawatan berada di lantai bawah Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta. Kala menginjakkan kaki ke ruangan, bau menyengat akan langsung menusuk hidung.

Sumber bau itu diketahui berasal dari aroma khas pita seluloid yang tercampur dengan trichloroethylene (TCE) atau aseton yang digunakan sebagai pembersih. Poster-poster film lawas yang berderet di dinding pun menyambut pengunjung yang hadir. Begitu pula dengan ribuan gulungan pita seluloid tersusun dan terawat dengan rapi.

Di balik itu semua, ada Firdaus yang mengabdikan 20 tahun hidupnya menjaga film-film lawas. Tanpa ada latar belakang pendidikan perawatan film, Firdaus pun akhirnya belajar secara otodidak. Dilatih pula oleh pekerja sebelumnya, yaitu Tono dan Tukino.

Menurut pengalaman Firdaus, merawat film bukanlah hanya soal keterampilan tangan, melainkan juga membutuhkan kesabaran dan komitmen untuk berkutat dengan cairan kimia setiap harinya. Maka, tak heran jika kini pekerja di ruang penyimpanan dan perawatan film hanya tersisa firdaus saja.

Soal perawatan, Firdaus mengatakan, pita seluloid lah yang paling membuat kewalahan ketimbang media penyimpan film lainnya. Alat-alat untuk perawatan pita seluloid pun mulai sulit ditemukan saat ini.

“Dulu, jika ingin membeli alat-alatnya bisa ke Grogol, sekarang sudah jarang. Kadang saya harus titip teman yang di Singapura,” Ujar Firdaus pada era.id.

Perawatan biasanya dilakukan setiap tiga hingga empat bulan sekali, tergantung keadaan pita seluloid. Bila sudah terdapat banyak jamur, maka pita seluloid tersebut wajib mendapatkan perawatan teliti dalam pembersihannya. Terlebih jika terdapat pita yang putus, proses pengerjaannya tentu akan memakan waktu yang lebih lama.

Meski begitu, Firdaus rupanya tidak terbebankan dengan pekerjaan yang rasanya mulai jarang diminati ini. Bahkan, ia merasa bangga karena turut andil dalam menjaga sejarah perfilman Indonesia. Kedepannya, Firdaus berharap generasi muda dapat meneruskan perjuangannya agar dapat terus dinikmati di masa depan.

Tag: hari film nasional 2018