Sosok Mohammad Yamin, Pujangga Minang Penulis Teks Sumpah Pemuda
ERA.id - Menjelang akhir Kongres Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928, Mohammad Yamin, anggota ikatan pemuda Sumatera, menyodorkan kepada ketua sidang secarik kertas berisi ikrar yang ia tulis untuk dibacakan dalam kongres.
"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie," kata Yamin, saat itu masih seorang pemuda 25 tahun. Dalam bahasa Belanda ia berkata bahwa ia telah menulis rumusan 'sumpah' yang lebih elegan.
Teks yang ditulis Yamin akhirnya diterima oleh Ketua Sidang Sugondo Djojopuspito, dan berbunyi demikian:
Pertama
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kedoea
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
- Teks Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda Kedua, 27-28 Oktober 1928
Seperti diabadikan dalam prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya No. 106, termaktub bahwa sejak saat itu "segala perkumpulan kebangsaan Indonesia" wajib memakai ikrar tersebut. Dan dengan itu pemikiran Moh. Yamin sebagai perumus teks Sumpah Pemuda terlestarikan menjadi suatu gerakan nasional.
Menerobos Batas Etnis
Seperti ditulis Goenawan Mohamad (GM) dalam "Catatan Pinggir" di Majalah TEMPO (5/11/2017), teks Sumpah Pemuda tak hanya berisi bunga-bunga kata yang sekadar diciptakan Yamin agar ikrar para pemuda dan pemudi terdengar lebih gagah dan elegan. Bagi GM, teks itu menandai sosok Yamin yang sungguh-sungguh 'transformatif'.
Yamin adalah pemuda kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, yang sangat mencintai keelokan kampung halamannya. Di usia 21 tahun ia telah melihat ranah minang sebagai "tanah air". Namun, seperti GM garisbawahi, Yamin tak hendak melihat Sumatera sebagai suatu identitas yang homogen.
Yamin melihat Sumatera sebagai peleburan batas, tempat orang Minangkabau bertemu dengan anak kampung Toba dan Karo, atau tempat orang dari Mentawai bertemu sesama orang Melayu di Lampung.
Keyakinan Yamin akan identitas Sumatera yang dinamis juga ia bawa kala memandang Indonesia, konsep kebangsaan yang tengah mengemuka di era 1920an di Hindia Belanda.
Sebagai contoh, Yamin adalah pemeluk Islam, seperti kebanyakan orang yang lahir di Sumatera Barat, tetapi Yamin juga seorang pengikut theosofi. Pria ini mengenal hikayat yang diceritakan di kampungnya, sama seperti ia mengenal puisi Jawa Kuno dan kisah Kerajaan Majapahit.
Ketika anaknya lahir, Yamin bahkan menamainya 'Rahadian', yaitu gelar Ken Arok sebagai Raja Singasari, Jawa Timur.
Alhasil, sifat transformatif Yamin pertama-tama terletak pada cara dia meretas batas etnis. Di usia 20an tahun, ia berhasil keluar dari penjara etnisitas yang dipasang pemerintah kolonial Belanda.
Yamin mampu mengekspresikan apa yang Daniel Perret tulis dalam tesisnya "Kolonialisme dan Etnisitas" (1995), yaitu bahwa seseorang keliru jika ingin membakukan identitas etnis. Tidak seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan membangun tembok di antara etnis Eropa, Tionghoa atau Pribumi, etnis bersifat dinamis. "Ia berubah dan menyesuaikan diri mengikuti zamannya," kata Perret.
Pengertian mengenai "Batak", "Melayu", "Jawa", ataupun "Indonesia" senantiasa cair sebagai hasil interaksi antar masyarakat.
Begitu pula ketika Mohammad Yamin mengangkat konsep bangsa "Indonesia" yang satu. Pada 28 Oktober 1928, mungkin ia dan kompatriotnya belum ngeh benar tentang apa sebenarnya yang dimaksud sebagai Indonesia.
Namun, ia tahu bahwa sama seperti identitas etnis atau bangsa pada umumnya, Indonesia adalah konsep yang dinamis, ia mampu menampung seluruh kemajemukan yang terkandung di dalamnya. Lebih-lebih, bangsa Indonesia menjadi rumah, tempat setiap warganya terbebas dari segala bentuk penjajahan.