Mengenal Dua Tokoh Bugis-Makassar yang Menata Bahasa Sunda dan Indonesia
ERA.id - Siapa yang baru tahu kalau ternyata ada dua tokoh penata bahasa Indonesia dan Sunda, yang ternyata berdarah Bugis-Makassar? Nama mereka adalah Raja Ali Haji dan Daeng Kanduruan Ardiwinata.
Jika Raja Ali Haji dan Daeng Kanduruan lahir di tanah leluhurnya, mungkin cara berbahasanya mirip dengan orang Bugis Makassar umumnya. Bagaimana bunyinya? Ya, ada konsonan ng dan bunyi hamzah pada akhir kata dalam ucapannya.
Misal minung (minum) jalang (jalan). Sedangkan bunyi hamzah kerap dipakai untuk konsonan p, t atau d. Contoh tela’ (telat) teka’ (tekad).
Asal tahu saja, Raja Ali Haji terkenal lewat karya sastranya Gurindam Dua Belas dan akhirnya dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Sepak terjangnya yakni membuat pedoman yang menjadi standar bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.
Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor, Malaysia tahun 1808, walaupun beberapa sumber menyebutkan bahwa dia dilahirkan di Pulau Penyengat, Riau.
Dalam tulisan Alif We Onggang, Raja Ali Haji disebut adalah putra dari Raja Ahmad dan cucu dari Raja Haji Fisabililah, saudara dari Raja Lumu, Sultan pertama dari Selangor.
Raja Ali Haji merupakan keturunan dari bangsawan dan prajurit Bugis yang datang ke Riau pada abad ke-16. Ayahnya bergelar Engku Haji Tua. Adapun ibunya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari keturunan Bugis.
Karena tertarik dengan sastra, Raja Ali Haji mendalami ilmu bahasa pada 1822 saat mengikuti ayahnya pergi ke Batavia. Ia juga menimba ilmu di Mekkah sekaligus berhaji dan belajar bahasa Arab dan ilmu agama.
Pada 1845, Raja Ali Haji menjadi penasehat agama di Kesultanan Riau-Lingga. Saat itu, ia sangat produktif dalam menulis sastra, pendidikan dan kebudayaan.
Selain menorehkan Gurindam Dua Belas yang dipublikasikan oleh E. Netscher pada 1854, juga Bustan al-Kathibin ditulis tahun 1857 di Betawi. Karyanya yang menjadi acuan bahasa Melayu adalah Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga yang ditetapkan sebagai buku pedoman Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Sementara Daeng Kanduruan Ardiwinata adalah seorang guru bahasa, ahli bahasa, pendiri dan Ketua Paguyuban Pasundan, serta Redaktur Balai Pustaka.
Walaupun ayahnya keturunan Makassar, tetapi hal itu tidak membatasi kecintaannya pada sastra Sunda. Ia pengarang roman pertama dalam bahasa Sunda.
Daeng Kanduruan lahir di Bandung, tahun 1866 dan meninggal di Tasikmalaya tahun 1947. Ayahnya bernama Baso Daeng Passau alias Daeng Sulaeman.
Kakeknya bernama Karaeng Yukte Desialu adalah Raja Lombo dari Makassar yang diasingkan Belanda ke Bandung bersama putranya Daeng Sulaiman karena memberontak.
Di Bandung, Daeng Sulaiman menyunting gadis Priangan bernama Nyi Mas Rumi yang kelak melahirkan Daeng Kanduruan
Daeng Kanduruan dianggap penata bahasa Sunda yang tercermin dalam karyanya Tata Bahasa Sunda. Karya lainnya adalah Dongeng-dongeng Soenda, Soendaasch Spel- en Leesboekje, Serat Sabda Rahajoe, Sakola Noe Lolong di Bandoeng Djeung Kasakit Njĕri Mata Anoe Matak Lolong
Selain itu, Daeng Kanduruan juga berjasa dalam bidang agama dan pendidikan dengan pendirian sekolah agama. Wahm ternyata nenek moyang orang Bugis-Makassar bukan cuma seorang pelaut belaka ya?