Simalakama Industri Hasil Tembakau Saat Pandemi
Oleh: Ahmad Muzahid (Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik Dan Global, Universitas Indonesia)
Tembakau merupakan salah satu komoditas yang sudah cukup lama di Indonesia. Awal perkembangan tembakau dimulai dari percobaan penanaman tembakau secara besar-besaran oleh Van Den Bosch dari Belanda pada tahun 1830 melalui “Cultuurstelsel” yaitu di sekitar Semarang Jawa Tengah, tapi saat itu mengalami kegagalan.
Selanjutnya Pada tahun 1856, Belanda mencoba kembali menanam tembakau secara meluas di beberapa daerah di Jawa Timur, di Yogyakarta, Klaten dan Deli, Sumatera Utara.
Industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu sektor strategis, yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor ini meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara dari cukai dan pajak, serta menjadi andalan sebagian petani dalam negeri dengan membudidayakan tembakau dan cengkeh.
Dari sisi penerimaan negara, berdasarkan data dari Dirjen Bea Cukai Kemenkeu, penerimaan cukai pada 2019 sebesar 172,4 triliun , yang mana 96 persen penerimaan tersebut berasal dari cukai Industri Hasil Tembakau (IHT) atau sekitar 164,9 triliun.
Namun, pandemi Covid-19 membuat industri tembakau lesu. Dari hasil analisis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, penjualan rokok secara industri turun 2,2 persen secara tahunan pada kuartal I-2020 dibanding periode yang sama pada tahun 2019.
Penurunan volume penjualan ini disebabkan oleh naiknya harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) rokok karena tarif cukai yang meningkat. Kenaikan cukai dan harga eceran rokok membuat permintaan dan produksi rokok redup.
Sementara itu, berdasarkan data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), jumlah penjualan tembakau petani tergantung dari banyaknya jumlah produksi dan penjualan produk rokok nasional.
Sejak adanya kenaikan Cukai Rokok 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen, harga rokok naik namun penjualannya turun. Hal ini berakibat pada menurunnya pembelian tembakau petani oleh industri rokok. Dari 110.000 ton hasil tembakau APTI, yang terserap dengan harga pasar hanya sekitar 50.000 ton, sisanya diserap dengan harga di bawah pasar.
Berbagai dinamika tersebut menunjukan bahwa kenaikan cukai rokok dan eceran tidak secara otomatis akan meningkatkan pendapatan negara, terlebih lagi pada kondisi perekonomian saat ini. Industri Hasil Tembakau terlihat melemah yang diindikasikan dengan berkurangnya penyerapan tembakau yang dilakukan oleh gudang-gudang pembelian industri rokok akibat kenaikan cukai tembakau.
Sebagian besar petani daerah sentra menjerit, karena hasil panen nya tidak diserap oleh perusahaan, dan tidak sedikit juga yang dibeli dengan harga jauh di bawah standar. Disisi lain, perlu juga diperhatikan dampak-dampak lainnya, dimana jika harga eceran rokok sudah terlalu tinggi akan ada celah bagi peningkatan peredaran rokok illegal, yang akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara tentunya.
Merujuk pada Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2021, target penerimaan cukai tahun 2021 diharapkan meningkat sebesar 3,6 persen dibandingkan outlook tahun anggaran 2020. Untuk itu, pada RAPBN tahun 2021, penerimaan cukai ditargetkan mencapai sebesar Rp178,47 triliun.
Sinyalemen upaya untuk menaikan cukai rokok pada 2021 terasa, meski secara umum penerimaan cukai rokok masih stabil dalam kondisi pandemi saat ini. Namun demikian, rencana kenaikan cukai maupun harga eceran pada 2021 sangat perlu untuk dipertimbangkan kembali dengan matang untuk mencegah terjadinya permasalahan yang sama maupun perosalan baru dalam dunia IHT.
IHT di Indonesia memang merupakan buah simalakama, karena disatu sisi merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup tinggi, namun disisi lain juga harus tetap memperhatikan dampak bagi kesehatan seluruh masyarakat.
Untuk itu, dalam perkembangannya, perlu terus dilakukan upaya-upaya konkrit untuk dapat tetap menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan IHT.
Jika tidak diperhatikan IHT akan berpengaruh pada kondisi perekonomian di daerah sentra, antara lain adanya potensi pengangguran akibat pengurangan (PHK) tenaga kerja pada industri rokok, yang dapat memicu resistensi masyarakat serta dapat berdampak pada kondisi stabilitas daerah.
Oleh karena itu, dalam mengatur IHT tidak bisa dilihat secara parsial, sangat diperlukan kesinambungan keseluruhan rantai, serta semua pihak yang terkait harus dilibatkan dalam penyusutan roadmap IHT termasuk didalamnya kenaikan cukai, agar dapat dipertanggungjawabkan serta berkomitmen dalam mengaplikasikannya.
Selain itu, sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi rokok namun tetap mempertimbangkan eksistensi IHT, kajian terhadap produk tembakau alternatif agar selalu ditingkatkan guna mendapatkan pengembangan produk IHT yang tidak berdampak negatif terhadap kesehatan, sehingga bahan baku tembakau sebagai salah satu hasil alam Indonesia tetap dapat dioptimalkan dan bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat.