Indonesia Darurat Hoaks
Hoaks yang dulu menyebar dari mulut ke mulut, kini tersebar lebih cepat melalui media sosial. Berita bohong mengenai figur atau kelompok tertentu banyak tersebar khususnya jelang atau saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau presiden.
Belajar dari yang lalu-lalu, pemerintah kini lebih menyiapkan diri menghadapi gempuran hoaks jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Sejumlah orang sudah ditangkap karena menjadi anggota kelompok pembuat dan penyebar hoaks melalui media sosial.
Kelompok Saracen dibongkar Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Agustus 2017. Beberapa pelaku, Jasriadi (32), Faiz Muhammad Tonong (43), Sri Rahayu Ningsih (32) ditangkap.
Pengungkapan kelompok Saracen menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Mantan Wali Kota Solo itu meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusut tuntas donatur dan pemesan konten hoaks Saracen. Saat membuka rapat paripurna kabinet di Istana pada Senin (5/3/2018), Jokowi meminta Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala BIN bersama membasmi hoaks.
"Pemerintah harus betul-betul bisa 100 persen mengendalikan stabilitas keamanan dan politik di tahun ini dan tahun depan. Termasuk penyebaran hoaks," ujar Jokowi.
Selanjutnya, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap kelompok Muslim Cyber Army (MCA) pada akhir Februari 2018. Menurut polisi, berita bohong yang disebar kelompok ini tentang penyerangan terhadap ulama dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Enam anggota MCA yang berperan sebagai konseptor ditangkap polisi di tempat berbeda, yakni Muhammad Luth (40) di Tanjung Priok, Rizki Surya Dharma (35) di Pangkal Pinang, Ramdani Saputra (39) di Bali, Yuspiadin (25) di Sumedang, Ronny Sutrisno (40) di Palu dan Tara Arsih Wijayani (40) di Yogyakarta.
"Strukturnya tidak serapi Saracen. Jumlah keseluruhannya ada ratusan ribu anggota," kata Kepala Direktorat Siber Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jenderal Fadil Imran di Bareskrim Polri Biro Renmin, Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (28/2).
"Sumber dana, tujuan mereka, apakah ada yang mengorder ataupun ada pejabat di balik ini, kami masih dalami. Yang perlu ditekankan, siapapun yang menyebarkan hoaks akan kami proses," imbuh Fadil.
Satuan Tugas (Satgas) Nusantara mencatat, dari 45 isu penyerangan terhadap ulama, hanya tiga kasus yang dinyatakan benar terjadi. Dua kasus terjadi di Jawa Barat, sedangkan satu kasus terjadi di Jawa Timur.
"Dari 45 peristiwa tiga kejadian betul-betul terjadi, 42 peristiwa hoaks," kata Ketua Satgas Nusantara, Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono.
Sebanyak 42 isu penyerangan ulama yang viral di media sosial dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, peristiwa yang direkayasa. Kedua, peristiwa tindak pidana umum namun diviralkan di media sosial seolah-olah korban atau pelakunya orang gila. Ketiga, peristiwa yang tidak terjadi sama sekali, namun disebarkan di media sosial seolah-olah terjadi penyerangan terhadap ulama.
Terpisah, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengatakan, pemerintah sudah membentuk tim khusus untuk mencegah hoaks yang semakin masif disebar di media sosial. Menurut Wiranto, pemerintah sudah melakukan kerja sama antarlembaga dan menggunakan teknologi canggih untuk mencegah dan memberantas hoaks.
Meski telah membuat upaya pencegahan, menurut mantan Panglima TNI periode 1998-1999 itu, pemerintah tetap mengimbau semua pihak agar tak menyebarkan hoaks. Dengan begitu, upaya-upaya yang sudah ada dapat bekerja secara maksimal menangkal berita bohong.
"Kita sudah minta Kapolri mencari, menangkap, menghukum dengan keras dan tegas para pelaku hoaks siapapun, perseorangan kelompok ataupun organisasi. (Hoaks) kita akan berantas," ujarnya.
Pada tahun politik ini, mantan Ketua Umum Partai Hanura itu mengingatkan supaya hoaks tidak muncul dan mengganggu Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Dia tidak ingin hoaks menimbulkan kekacauan di Indonesia.
"Kita harap jangan diganggu, kampanye boleh tapi jangan menggunakan hoaks, menyebarkan kebencian, jangan gunakan isu SARA yang menimbulkan kekacauan di dalam negeri," ucap Wiranto.