Di Indonesia, Kenapa Kancil dalam Dongeng Selalu Diidentikan dengan Cerdik?
ERA.id - Dongeng anak Indonesia sejak zaman dulu, misal tahun 90-an, banyak menempatkan Kancil sebagai tokoh utama cerita. Dalam cerita itu, Kancil identik dengan kecerdikan dan licik. Kok bisa Sebelum lebih jauh membahasnya, perlu diketahui, cerita Kancil itu memang sudah lama ada dalam masyarakat Jawa, bahkan sebelum ada tradisi tulisan.
Cerita Kancil sering didoengengkan untuk bisa dipelajari anak-anak. “Tokoh binatang cerdik licik ini di dalam ilmu folklor (cerita rakyat) dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu,” tulis James Danandjaja dalam Folklor Indonesia dikutip dari Historia.
Menurut Sir Richard Windsted dalam A History of Classical Malay Literature, pada abad II SM, di suatu stupa di Barhut Allahabad India, terukir adegan-adegan dongeng binatang, berasal dari cerita agama Budha, yang dikenal sebagai Jataka.
Dongeng itu lalu tersebar ke luar India; ke arah barat menuju Afrika serta ke timur menuju Indonesia dan Malaysia bagian barat. Lantas bagaimana bisa dongeng si Kancil bisa sampai ke Indonesia? Dalam tulisan R.B. Dixon di The Mythology of All Races: Oceanic, dongeng Kancil di Indonesia ternyata dipengaruhi Hinduisme dan erat hubungannya dengan kerajaan Jawa Hindu dari abad ke-7 sampai abad ke-13.
Hipotesis Dixon, menurut James Danandjaja, diperkuat dengan fakta bahwa dongeng si Kancil juga terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan Hindu.
Sayangnya, tak dijelaskan lebih jauh mengapa dongeng Kancil dapat hidup sampai berabad-abad atau apa fungsinya sebagai ungkapan kebudayaan dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda.
Kini si Kancil sudah menjadi cerita rakyat di semua kalangan. Ia lebih mudah diterima atau dicerna anak-anak. Kisah si Kancil sendiri disebutkan baru dibukukan pada abad ke-19. “Semua versi cerita kancil berbahasa Jawa, ceritanya dapat dilihat sebagai suatu siklus yang menceritakan seluruh riwayat hidup sang Kancil sejak lahir sampai meninggalnya,” tulis T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A.
Selain di buku dongeng, di film kartun juga kisah si Kancil banyak ditemui. Contohnya saat Kancil melawan Buaya. Adapun versi cerita Kancil tertua adalah Serat Kancil Amongsastra karangan Kyai Rangga Amongsastra, penulis Kadipaten selama pemerintahan Pakubuwono V di Surakarta, yang dikarang pada 1822.
Atas usaha Dr W. Palmer van den Broek, serat tersebut dicetak pada 1878. Buku induk lain dongeng si Kancil diterbitkan G.C.T. van Dorp di Semarang pada 1871. Cerita Kancil ini lebih dikenal dengan Serat Kancil van Dorp karena tak diketahui penulisnya.
Buku lainnya adalah Serat Kancil Salokadarma karya R.A. Sasraningrat, putra Pakualam Yogyakarta, yang berangka tahun 1891. Cerita Kancil dalam buku ini kehilangan cirinya seperti Kancil pada umumnya.
Menurut Abing Ganefara dalam skripsinya tentang Serat Kancil Saloka Darma di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia tahun 1990, terdapat konsep-konsep ajaran mistik yang menonjol, sehingga peran binatang dalam cerita ini tak berbeda dari manusia sehari-hari. Misalnya, ada peran bercakap-cakap, mengajar, memberi nasihat, atau adu argumentasi sambil sesekali diselipi ajaran-ajaran mistik.
Naskah yang dekat dengan Serat Kancil Salokadarma, menurut Behrend dan Titik, adalah Serat Kancil Amongraja di mana memuat ajaran moral, Islam, kebatinan, dan lain-lain disampaikan melalui wejangan.
Perbedaan isi Serat Kancil Amongraja dengan serat-serat lain terletak pada tokoh Kancil yang digambarkan sebagai seorang pemuda dengan ilmu pengetahuan luas. Dari penggambaran tersebut tidak tertangkap kesan bahwa Kancil adalah tokoh binatang.
Kancil merupakan putra Raden Pathangkus dari Ampeldenta dan seorang dewi dari negara Wiradi. Pada usia 16 tahun, Kancil telah menguasai ilmu kebatinan, falak, Alquran, sastra, bahasa Arab dan Jawa, hingga undang-undang dan hukum Jawa-Belanda.
Menurut James Danandjaja, dari semua peneliti tentang dongeng Kancil, yang menarik adalah karya Philip Frick McKean, The Mouse-deer (Kantjil) in Malayo-Indonesia Folklore: Alternative Analyses and the Significance of a Trickster Figure in South-East Asia.
McKean menyimpulkan bahwa ideal folk (cerita rakyat) Jawa adalah selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng si Kancil, dapat diambil kesimpulan bahwa Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang dalam menghadapi kesukaran, selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah rumit tanpa ribut-ribut, dan tanpa banyak emosi. Apakah memang seperti itu?