Peluang 4 Unicorn Indonesia di Panggung Politik
Seperti sudah dibahas dalam artikel Empat Unicorn Indonesia, valuasi yang dicapai berhasil menahbiskan perusahaan mereka berkelas Unicorn.
Kalau di negara luar, sosok seperti mereka sudah ditarik ke ranah politik. Seperti pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, yang pada 2017 lalu santer dikabarkan maju dalam bursa calon presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2020.
Isu tersebut muncul setelah Zuckerberg diketahui merekrut sejumlah profesional di bidang politik untuk bergabung ke yayasan amal bersama sang istri, Chan Zuckerberg Initiative (CZI).
David Plouffe misalnya. Dia adalah manajer kampanye Barrack Obama pada 2008 dan kini menjabat sebagai Presiden Kebijakan dan Advokasi CZI.
Ada juga nama Ken Mehlman yang terlibat dalam kampanye George W Bush pada Pemilu 2004. Amy Dudley, mantan penasihat komunikasi senator dari Virginia, Tim Kaine menduduki sejumlah posisi penting di CZI.
Selain itu, perekrutan Joel Benenson --mantan penasihat politik Barrack Obama-- sebagai konsultan CZI dan hobi Zuckerberg blusukan ke sejumlah daerah di Amerika Serikat sejak 2017, memperkuat isu Zuckerberg akan terjun ke dunia politik.
Isu Zuckerberg sebagai calon presiden mendapat respons beragam dari masyarakat AS kala itu. Ada yang menolak dan mempertanyakan hasrat politik Zuckerberg. Namun, ada juga yang menyatakan siap mendukung Zuckerberg andai langkah politik itu betul-betul diambilnya.
Menarik untuk disoroti, bagaimana nama besar Zuckerberg yang sukses dan menjadi idola baru anak-anak muda ditarik-tarik ke ranah politik. Ya, meski belakangan Zuckerberg membantah isu tersebut. Lalu, bagaimana dengan Nadiem, Ferry, Zaky dan William? Sebesar apa potensi kesuksesan mereka jika masuk ke panggung politik?
Ilustrasi (Arno, Wicky/era.id)
Teori modeling
Pakar psikologi sosial dan politik dari Universitas Tarumanegara (Untar), Bonar Hutapea, mengatakan, keempatnya memiliki potensi besar untuk sukses di ranah politik praktis, secara elektoral setidaknya. Meski menurut Bonar keempat unicorn itu masih harus diuji kemampuannya berbicara di hadapan publik.
Dalam sudut pandang keilmuan, fenomena ini digambarkan dalam Teori Modeling Albert Bandura. Di mana seorang yang diidolakan dapat memengaruhi kepribadian, tindakan, dan keputusan orang yang mengidolakannya. Singkat ceritanya, jika sudah menjadi idola, lebih mudah mengonversinya menjadi dukungan.
"Anak muda yang memiliki sosok idola yang sampai tingkat tertentu mampu memengaruhi kepribadian, tindakan, keputusan dan pilihan-pilihan mereka melalui proses modeling," jelas Bonar saat dikontak era.id, kemarin.
Tapi, apa akan berdampak secara elektoral?
“Ini adalah belajar lewat pengalaman seseorang. Misalnya belajar dari pengalaman sang tokoh yang diidolakan atau dijadikan panutan,” ungkap Bonar.
Pakar psikologi komunikasi dari Untar, Debora Basaria, mengatakan secara politik, keempat jagoan startup itu memang sangat potensial menambah elektoral jika diangkat jadi calon wakil presiden. Keempat anak muda itu, kata Debora, jadi idola generasi milenial yang jumlahnya bisa mendominasi daftar pemilih tetap pemilu tahun depan. Apalagi jika kita mengaitkan dengan teori modeling yang sudah kami jelaskan di bagian atas.
Lembaga survei SMRC merilis jumlah pemilih usia 17-38 tahun pada Pemilu 2019 mencapai 55 persen dari daftar pemilih tetap yang pada Pemilu 2014 mencapai 190 juta.
“Jika pada akhirnya akan akan ada pemilih Jokowi karena ia merupakan fans dari anak muda yang digandeng Jokowi itu bisa saja terjadi,” kata Debora.