Menyelami Budaya Instan dalam Industri Hiburan
Jakarta, era.id - Produser musik bertangan dingin, Maia Estianti pernah bilang, "popularitas mengalahkan kualitas." Hal itu Maia katakan menanggapi kekalahan salah satu kontestan Indonesian Idol 2018, Abraham Kevin.
Tereliminasinya Kevin di Top 10 memang disesalkan banyak pendukungnya. Media sosial merefleksikan hal itu. Ungkapan patah hati dan kekecewaan tumpah ruah di timeline media sosial pada malam spektakuler keenam itu.
Nah, hal menarik lain turut diungkap oleh Maia waktu itu. Dia bilang, kekuatan polling SMS adalah penentu nasib seorang peserta dalam kompetisi pencarian bakat, khususnya Indonesian Idol.
"Ya, ini benar-benar membuktikan bahwa hasil SMS tidak direkayasa, hasil SMS murni. Kan selama ini ada tuduhan bahwa RCTI tidak transparan," tutur Maia.
Maksud Maia, Kevin seharusnya enggak pulang secepat itu. Babak Top 10 masih terlalu dini buat Kevin pulang. Tapi, Maia ternyata 'cuma juri'. Ia tak pegang kendali apapun, apalagi untuk memutuskan siapa yang pantas lanjut dan yang harus berhenti.
"Memang pernah ada perkataan 'mestinya juri yang memilih.' Tapi ini vote sekali lagi dan murni," pungkas Maia.
Ya, apa mau dikata. Toh, Kevin bukan satu-satunya peserta berkualitas yang cao duluan dari panggung spektakuler. Di musim kedua Indonesian Idol, nama Monita Tahalea juga harus tersingkir lebih dulu di babak empat besar.
Tapi, Indonesian Idol memang bukan satu-satunya penentu karir seseorang di industri musik. Terbukti, Monita tetap survive, kok. Malahan, Monita kini jadi salah satu penyanyi jazz wanita paling diperhitungkan.
Sejumlah panggung besar, mulai dari Java Jazz, hingga Jazz Gunung sudah dijajal Monita usai meninggalkan panggung spektakuler. Bahkan, 2016 silam Monita sempat menggelar konser tunggal bertajuk "Dandelion" yang diambil dari judul album keduanya.
Sebelum Dandelion, Monita berhasil menelurkan album perdana berjudul "Dream, Hope & Faith" pada tahun 2010. Menggandeng label Inline Music, delapan lagu disajikan Monita dalam album tersebut.
Pesannya cukup jelas, jalan pintas yang ditawarkan ajang pencarian bakat hanya salah satu pintu masuk yang lebih instan. Pintu lainnya, tentu saja mengasah kualitas dan terus berkarya memupuk produktivitas.
Banyak jalan menuju mapan
Kegandrungan terhadap ajang pencarian bakat di Indonesia dimulai pada 2003. Ketika itu, Akademi Fantasi Indosiar (AFI) tayang perdana, sebagai adaptasi dari ajang pencarian bakat serupa di Meksiko, La Academia.
Musim pertama AFI bergulir di akhir tahun 2003. Kala itu, audisi yang dilakukan di Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya berhasil menjaring ribuan bakat tarik suara, hingga 12 terbaik dipilih untuk masuk ke babak utama.
Musim pertama AFI saat itu dimenangkan oleh Very Affandi, peserta asal Medan. Posisi kedua dimenangkan oleh Petrus Kia Suban asal Jakarta. Penyelenggaraan AFI sendiri bertahan selama enam musim, di mana tahun 2013 jadi musim terakhir tayangan yang mencuatkan ungkapan 'angkat koper' ini.
Kesuksesan musim pertama AFI jadi pemicu lahirnya ajang pencarian bakat lain di berbagai stasiun televisi. Indonesian Idol yang debut di tahun 2004 misalnya, yang langsung menarik perhatian masyarakat.
Saat itu, seleksi musim pertama Indonesian Idol berhasil menarik 34.000 orang dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya. Musim pertama Indonesian Idol dimenangkan Joy Tobing sebagai juara kompetisi, dan Delon sebagai runner up.
Setelah Indonesian Idol, ajang pencarian bakat tak hanya dilakukan di bidang tarik suara. Audisi Pelawak TPI (API) misalnya, yang jadi pionir ajang pencarian bakat di bidang seni lawak. Sejumlah komedian lahir dari ajang ini, baik yang tetap pada komitmen untuk tampil sebagai grup seperti trio Bajaj atau yang maju mengusung nama panggung sendiri seperti Sule.
Popularitas tanpa kreativitas
Ajang pencarian bakat, biar bagaimanapun adalah bentuk dari budaya instan. Kebanyakan ajang pencarian bakat membentuk para pesertanya jadi bintang dadakan. Dengan potensi yang telah dimiliki tiap-tiap pesertanya, penyelenggara ajang pencarian bakat mem-branding mereka sedemikian rupa hingga memiliki nilai jual.
Pakar komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Budy Komarul Zaman mengatakan, aspek bisnis selalu jadi hal utama dalam industri media. Dari berbagai macam produk media, ajang pencarian bakat adalah salah satu yang paling menjual.
Secara teori, ajang pencarian bakat dapat membentuk ikatan kuat antara media, peserta, dan penontonnya. Caranya, balik lagi ke bagaimana proses eliminasi dalam ajang pencarian bakat yang kebanyakan menggunakan sistem polling.
Branding yang dilakukan penyelenggara membentuk para peserta menjadi bintang-bintang baru yang digandrungi. Nah, saat peserta-peserta itu berhasil menghimpun kantong-kantong fan, maka ikatan itu akan terbentuk, lewat dukungan SMS yang diberikan para fan untuk idolanya.
"Kalau misalnya masih berjalan, ya sudah. Logikanya bisnis. Budaya populer itu merupakan sarana yang paling enak buat masuk," kata Budhy kepada era.id, Jumat (16/3).
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS), Widodo Muktiyo punya pendapat tersendiri. Ia asyik-asyik saja dengan ajang pencarian bakat. Meski berangkat dengan semangat yang diusung budaya instan, ajang pencarian bakat biar bagaimana pun membantu kemunculan bibit-bibit unggul dalam industri hiburan Tanah Air.
Yang penting, tak ada unsur pembodohan masyarakat di dalam ajang pencarian bakat. "Pencarian bakat seperti itu sah-sah saja, sepanjang tidak menjurus pada pembodohan nalar publik," kata Widodo.
Jalan instan yang ditawarkan ajang pencarian bakat, kata Widodo tak boleh menimbun esensi dari berkreasi itu sendiri, yakni kreativitas.