Sepakat dengan Jokowi, Fadi Zon: Delik Ujaran Kebencian UU ITE Pasal Karet!
ERA.id - Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Jokowi akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE tidak dapat terwujud.
Menanggapi hal tersebut, politikus Partai Gerindra Fadli Zon sepakat dengan Jokowi bahwa UU ITE ini memang sudah bermasalah.
“Jika implementasi Undang-Undang ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud dan anjuran untuk merevisi kembali undang-undang ite secara umum tentu merupakan satu hal yang positif karena sejak tahun 2016 saya sendiri sudah mengusulkan agar undang-undang ini sebenarnya ditinjau,” kata Fadli Zon melalui kanal Youtube miliknya, Kamis (18/02/2021).
Revisi Undang-Undang ITE ini bukan untuk pertama kalinya. Pada tahun 2016 telah ada revisi dengan undang-undang nomor 19 tahun 2016 sebagai perubahan terhadap undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
“Memang ada revisi, tetapi tidak mencabut pasal-pasal dalam undang-undang ite yang dianggap sebagai pasal karet. Ini adalah pasal yang bisa digunakan kadang-kadang sesuai selera dan interpretasinya juga sesuai dengan kepentingan atau bahkan bisa didasari oleh hal-hal yang belum tentu untuk keadilan,”ujarnya.
Fadli Zon juga menerangkan beberapa pasal yang menurutnya bermasalah, menimbulkan kriminalisasi politisasi dan mempunyai persoalan-persoalan yang menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Ia mentotalkan sekitar 9 pasal.
“Pasal yang dianggap bermasalah itu cukup banyak. pasal 26, pasal 27 ayat 1 soal kesusilaan, pasal 27 ayat 3, pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 2, pasal ujaran kebencian dan pasal-pasal lain seperti pasal 26 ayat 3, pasal 36, pasal 40 ayat 2, pasal 40 ayat 2B, pasal 45 ayat 3 dan sebagainya” tambahnya.
Selain membeberkan pasal yang dianggap bermasalah, Fadli Zon juga memberikan alternative bagaimana revisi UU ITE ini bisa ditangani secepatnya. Ia mengatakan lebih baik revisi Undang Undang tersebut melalui Perpu peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
“Kalau mau cepat melalui Perpu peraturan pemerintah pengganti undang-undang, sehingga tidak perlu melalui sebuah proses yang panjang di DPR dan bisa dilakukan oleh pemerintah dan anti pemerintah,” ungkapnya.