Kisah Baharuddin Lopa: Mantan Jaksa Agung yang Takut dengan Sebuah Korek
ERA.id - Baharuddin Lopa adalah sosok yang bisa dijadikan panutan. Kesederhanaan Baharuddin Lopa membuat banyak orang mengenangnya sebagai pejabat yang patut untuk dicontoh pada zaman sekarang.
Semasa hidup, Baharuddin Lopa merintis karier dari bawah hingga menjadi Jaksa Agung. Walau mencapai puncak karier, jabatan tak membuatnya loyo. Malah ia makin tegas, bertaring sebagai "pendekar hukum". Itu terbukti dari beberapa catatan yang ditulis Alif We Onggang dalam buku Lopa yang Tak Terlupa.
Baharuddin Lopa lahir di Mandar, Sulsel (sekarang Sulbar), pada 27 Agustus 1932. Kariernya diawali sebagai jaksa di Kajari Makassar pada tahun 1958. Usianya 23 tahun waktu itu. Saat berkarier, ia masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sebab berprestasi, Lopa diminta menjadi Bupati Majene (Sulawesi Barat saat ini) pada usia 25 tahun. Muda sekali jika menghitung umur serta jabatan yang dimandatkan padanya. Menariknya, Baharuddin Lopa cuma dua tahun menjabat, kemudian kembali lagi ke dunia hukum.
Ia kembali menjadi jaksa di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Irian Barat sebelum menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Utara di Ternate. Ia menjadi jaksa karena merasa terpanggil. Bekerja dengan hati, membuat karier Lopa terus menanjak.
Karier Lopa berakhir pada 3 Juli 2001. Ia meninggal di Riyadh, Arab Saudi, usai diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Gus Dur pada 1 Juni 2001. Insiden yang mengagetkan ini tentu membuat banyak spekulasi muncul. Tapi sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi.
Kehidupan Baharuddin Lopa
Anak keduanya, yakni Iskandar Muda Baharuddin Lopa, menulis catatan mengenang ayahnya dalam buku Lopa yang Tak Terlupa. Iskandar sewaktu muda sangat bangga menjadi anak pejabat. Keluarganya dikenal oleh banyak orang. Kedua, ia bangga diajari hidup sederhana sedini mungkin oleh ayahnya.
Ajaran Baharuddin Lopa, tak membuat Iskandar manja. Keluarga besarnya menerapkan pola tak memanfaatkan fasilitas sebagai sosok pejabat penting. “Sebagai seorang anak pejabat penting, seharusnya saya hidup dengan limpahan fasilitas mewah. Namun, kami sekeluarga terbiasa hidup dalam kesederhanaan.”
Kesederhaan itu didasari karena bermewah-mewah tak sesuai dengan ajaran Islam. Lagipula penghasilan seorang jaksa tak akan membuat hidup keluarganya menjadi flamboyan.
“Bapak tidak mampu memberi kalian lebih dari yang Bapak mampu. Bapak tidak mau memberi kalian makan dari sumber-sumber yang syubhat, haram, dan melanggar hukum,” kisah Iskandar Muda.
“Kalian harus selalu jujur bersikap, berkata, dan memakai nurani. Dengan ini kalian akan berani mengambil sikap, setia pada kebenaran dan tidak akan menyimpang,” pesan Lopa yang disampaikan oleh Iskandar.
Kisah-Kisah gemilang Baharuddin Lopa
Ada satu kisah yang menarik saat Lopa menjabat sebagai Kajati Sulsel. Istrinya, Indrawulan Majid Tongai, saat itu selalu naik bus bila pulang ke Majene. Sikap ini tentunya tak biasa, karena semestinya Indrawulan diantar oleh kendaraan dinas.
Siapa sangka, aturan itu berlaku untuk semua anggota keluarganya: Tak boleh diantar oleh kendaraan dinas. Jika anak Baharuddin Lopa ke sekolah, ia tak bisa ikut ayahnya naik mobil dinas.
Ini aneh. Sebab tidak aturan, dan toh tidak apa-apa juga, karena sekolah anaknya sejalur dengan kantor Lopa waktu itu. Memang Baharuddin Lopa keras dengan aturan yang prinspil. Karena aturan itu, anak Lopa pernah nyaris celaka karena diserempet kendaraan.
“Walaupun ada mobil yang bisa antar jemput mereka ke sekolah, tapi seringnya saya tak menyuruh antar-jemput. Biar naik bus sendiri. Biar mereka mendapat pengalaman tentang susahnya hidup. Ini berlaku bagi anak lelaki maupun perempuan.”
Hanya itu? Tidak, Baharuddin Lopa juga mengunci telepon rumah dinas agar tidak digunakan kepentingan pribadi keluarganya. Mereka disarankan memakai telepon koin yang sudah disediakan.
Demi menambah pundi-pundi penghasilnya saat menjabat Jaksa Agung, Baharuddin Lopa membuka rental play station dan warung telekomunikasi di samping rumahnya.
Lalu ada juga hal yang manrik lain, waktu itu Lopa jadi pembicara di salah satu kampus di Makassar. Di sana, ia meminjam korek seorang mahasiswa karena ia lupa membawa korek. Lopa seorang perokok berat.
Ia pun dipinjami. Tapi celakanya, Lopa membawa korek itu sampai ke Jakarta. Ia lupa mengembalikan macis tersebut pada empunya. Akhirnya ia terbebani. Singkat cerita, curhatlah Baharuddin Lopa pada temannya yang hendak balik ke Makassar.
Mendengar curhatan soal korek, kawannya berujar, "Tak apa." Apa jawaban Lopa? Menohok! “Bukan begitu. Nanti gara-gara korek saya bisa masuk neraka, Minta tolong, Pak, titip korek ini ke Makassar. Sampaikan maafku pada yang punya,” ujar Lopa. Untungnya, Lopa tahu siapa mahasiswa itu, jadi dengan mudah korek kembali pada empunya.