Meroket Pakai Sosial Media

Masih dalam artikel berseri Era Budaya Instan. Setelah membahas Awal Mula Kehidupan Serba Instan ala Milenial, kini kita akan mendalami bagaimana milenial membangun popularitas secara instan lewat pemanfaatan teknologi informasi dan media sosial.

Jakarta, era.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kaget bukan main mendengar jawaban Rafi Fadilah, seorang siswa SDN Negeri 36 Pekanbaru, Riau saat ditanya cita-citanya. Bukan profesi dokter, pilot atau tentara yang dia idamkan.

"(Cita-cita) jadi Youtuber, Pak," ucap Rafi yang langsung memancing tawa hadirin. Jokowi yang tampak tak percaya pun mengulangi pertanyaannya. 

Menariknya, Rafi menunjukkan pemahaman mendalam terhadap dunia Youtuber. "Saya ingin jadi Youtuber, karena kalau subscriber-nya sudah banyak, kita bisa dapat uang," lanjut Rafi.

Jawaban Rafi menarik untuk disoroti. Entah apa dan siapa yang dilihat Rafi. Yang jelas, para Youtuber-nya ini memberi pengaruh besar terhadap Rafi. Sebenarnya oke aja. Enggak ada yang salah dengan cita-cita Rafi.

Makanya, untuk mendalami fenomena ini, kami mewawancarai pakar psikologi sosial dari Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta, Yohanes Budiarto. Kami mau tahu, apa daya tarik media sosial. 

Bagi Rafi, subscriber yang dikonversi jadi uang mungkin daya tariknya. Namun, jauh di akar fenomena ini, ada hasrat sosial untuk menjadi populer di dalam hati setiap Youtuber.

Masuk akal memang. Sebab, subscriber bergantung pada seberapa populer seorang Youtuber. Makin populer, makin banyak jumlah subscriber-nya. Nah, makin banyak jumlah subscriber, maka akan makin besar potensi uang yang didapat.

Menurut pandangan psikologi sosial, budaya instan turut memengaruhi cara masyarakat mengakses media sosial. Dalam konteks psikososial, hal ini berhubungan dengan self-disclosure. Jika ditinjau lebih dalam menggunakan kacamata cyberpsychology, perkembangan media sosial telah mendorong setiap orang untuk terus menampilkan diri mereka lebih terbuka dari sebelumnya.

"Pertama, dalam kasus atau fenomena ini, nampak bahwa individu dalam konteks interconnected melalui media sosial lebih rentan mengalami fenomena psikologis spotlight effect," kata Yohanes kepada era.id, Senin (19/3/2018)

Segala kemudahan yang ditawarkan media sosial untuk mencapai popularitas disambut masyarakat yang telah terbentuk oleh budaya instan. Hasilnya, ya itu tadi, kecenderungan perilaku seseorang untuk menampilkan diri mereka.

Infografis (Wildan/era.id)

Jalan instan menuju populer

Jalan instan menuju popularitas yang ditawarkan media sosial sejatinya membawa banyak manfaat bagi industri kreatif Indonesia. Lihat saja Rich Brian, yang namanya mencuat usai menelurkan klip video dari single-nya, Dat $tick. Performa Brian --yang saat itu masih mengusung nama panggung Rich Chigga (China Nigga)-- banyak menuai pujian dari pelaku industri hiburan di luar negeri.

Terakhir, Brian menelurkan album penuh pertamanya, "Amen". Album yang berisi 14 lagu ini berisi nomor penting, yakni Amen, Cold, Occupied, Introvert, Attention, Tresspass, Flight, Enemies, Kitty, Little Prince dan Arizona serta tiga lagu lama, di antaranya Glow Like Dat, Chaos dan See Me yang telah lebih dulu dirilis sebagai single.

Tak cuma itu. Lebih kerennya lagi, lewat Amen, Brian berhasil mencatatkan sejarah dengan menjadi penyanyi hip-hop Asia pertama yang memuncaki daftar album iTunes kategori hip-hop/rap.

Kesuksesan Brian adalah contoh nyata bagaimana kemudahan yang ditawarkan media sosial mampu mendorong pengembangan industri kreatif nasional. Sarananya sudah ada, nih. Begitu juga dengan kesempatannya.

Nah, sekarang tinggal bagaimana bersama-sama membangun industri kreatif. Pemerintah, jangan lupa ikutan, ya!

Tag: era budaya instan