Kekerasan Terhadap Perempuan Makin Meningkat, Pelaku Terbanyak Pacar, Mantan Pacar, dan Ayah

ERA.id - Perempuan di seluruh dunia memperingati International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional) setiap tahun pada 8 Maret. Meski diperingati tiap tahun, tapi nyatanya hak-hak perempuan masih banyak terpinggirkan.

Diskriminasi di berbagai sektor seolah membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya, pada bidang organisasi atau tempat kerja, beberapa kelompok masih meragukan kemampuan perempuan untuk memimpin.

Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang merupakan dokumentasi data-data kekerasan terhadap perempuan yang dialami sepanjang 2020 di seluruh Indonesia, kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam hubungan personal yaitu sebesar 79 persen atau sebanyak 6.480 kasus.

Kekerasan gender berbasis siber mengalami kenaikan jumlah pelaporan yang sangat pesat. Pada 2019, jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 241 kasus, kemudian meningkat pada 2020 menjadi 940 kasus. Data menunjukkan pelaku kekerasan justru dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban. Pelaku terbanyak adalah pacar, mantan pacar, dan ayah.

Data Catahu 2021 menunjukkan, kasus kekerasan terbanyak dialami oleh istri, yaitu 50 persen dari total kasus yang dilaporkan. Jumlah tepatnya 3.221 kasus. Adapun di ranah personal dan KDRT, bentuk kekerasannya berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi.

Dalam catatan Komnas Perempuan, tren kekerasan sekual di ranah komunitas meningkat. Kasus kekerasan seksual yang lain ada di urutan pertama dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan sebanyak 229 kasus, pelecehan seksual sebanyak 181 kasus, dan pencabulan sebanyak 166 kasus.

"Ini menunjukkan bahwa RUU penghapusan kekerasan seksual yang mengatur banyak fokus di urusan komunitas itu sangat penting," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati.

Asfin juga mengatakan bahwa negara melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap perempuan di dua level. Satu karena membiarkan, dua karena melakukan.

"Data di atas menunjukkan sesuatu yang sistematis dalam pelanggaran HAM. Negara lalai karena mengabaikan hal ini, misalnya saja negara tidak kunjung mengesahkan undang-undang perlindungan terhadap perempuan," ujar Asfin.

Selain Asfin, Sekertaris Jendral Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas juga mengatakan bahwa banyak pekerja perempuan di Indonesia yang haknya dikesampingkan.

"Pekerja perempuan khususnya jurnalis itu memiliki banyak resiko, terutama ketika di lapangan sedang melakukan aktifitas jurnalistik. Hasil survei AJI Jakarta 2020 menunjukkan dari 34 responden 25 diantaranya pernah mendapatkan kekerasan seksual. Dan itu terjadi baik mereka di kantor maupun yang di luar kantor," ujar Ika

Menurutnya situasi ini diperparah karena banyak perusahaan perusahaan media yang belum memiliki semacam Standart Operasional System (SOP) atau panduan untuk pencegahan kekerasan seksual, penanganan kekerasan seksual dan juga pemulihan terhadap korban.

"Artinya belum ada respon yang cukup progresif dari perusahaan media untuk membuat dunia kerja yang lebih aman kepada jurnalis perempuan," tambahnya lagi.