Ramadan Kurang Mengasyikkan Tanpa Kenal Sosok Legenda di Buku Iqro Ini, Siapakah Dia?
ERA.id - Di Ramadan kali ini, apakah Anda ingat sosok lelaki tua berpeci hitam di sampul belakang Iqro? Jika tidak, maka mari ketahui profil K.H. As’ad Humam.
Lelaki itu dipanggil Pak As'ad, ia adalah sosok yang melegenda, yang kerap menemani masa kecil kita saat membaca Iqro, bahkan mungkin hingga kini.
As’ad Humam lahir di Yogyakarta tahun 1933. Sewaktu beranjak, jauh sebelum dirinya menemukan metode Iqro, As'ad pernah celaka pada usia 18 tahun.
As'ad sempat jatuh dari pohon dan mengalami pengapuran tulang belakang. Lehernya tak bisa digerakkan dan ia mesti berjalan dengan bantuan tongkat.
Akibatnya, ia tak bisa menyelesaikan sekolah. As'ad hanya bisa sampai ke kelas II Mualimin Muhammadiyah (setingkat SMA) di Yogyakarta.
Dalam artikel Heni Purwono berjudul “K.H. As’ad Humam, Pahlawan Pemberantasan Buta Huruf Alquran”, dijelaskan kalau As'ad melakukan kegiatan yang terbatas selama sakit.
“Dalam keseharian, salatnya pun harus dilakukan dengan duduk lurus, tanpa bisa melakukan posisi ruku ataupun sujud. Bahkan untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya,” tulisnya.
Apakah Anda tahu As'ad tinggal di mana? Jika belum, mari kuberitahu. Selama hidup, As'ad tinggal di Kampung Selokraman, Kotagede, Yogyakarta.
Keluarganya adalah pedagang. As'ad sempat diajari untuk berjualan barang-barang imitasi di pasar Bringharjo saat muda.
Waktu berlalu, takdir membawa As'ad bertemu dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi asal Semarang yang menemukan metode Qiroati, sebuah metode belajar membaca Alquran kepada anak-anak dan secara umum untuk orang dewasa.
As’ad Humam lalu menganalisis metode itu dan menemukan solusi untuk mendukung Qiroati. Ia lalu berujar kepada Dachlan, tapi kurang ditanggapi, sebab Dachlan merasa metode Qiroati adalah metode belajar yang sudah baku dan tidak bisa dicampuri oleh metode lain.
“Hanya karena merasa bahwa temuan tersebut masih dapat disempurnakan dan kurang mendapat respons, maka disusunlah Iqro yang bersifat independen dari Qiroati,” tulis Usep Fathudin di Gatra.
Karena itu, As'ad dan Dachlan bersitegang. Pada 1990, Usep Fathudin yang saat itu masih bekerja di Departemen Agama, sempat bolak-balik Semarang-Yogyakarta karena diutus oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Andi Lolong Tonang, untuk menyelesaikan mereka.
“Untuk ‘mendamaikan’ keduanya, yang saat itu agak memanas, khususnya dari pihak Semarang,” tulisnya.
Lama-kelamaan, dicapai jalan tengah. As’ad Humam dalam kata pengantar buku Iqro tahun 1990 menulis, “Buku Qiroati-lah yang paling banyak memberikan inspirasi dalam penyusunan buku Iqro ini,” tambahnya.
Jalan keluar ditemukan. Keduanya lalu berdamai. Untuk diketahui, dulu cara mengeja huruf Al-Qur'an sangat sulit. Karena untuk menghasilkan bunyi “a” misalnya, yang belajar mesti memulai dengan huruf alif yang bersandang atau harakat fatah, baru dibaca “a”.
Sementara di masjid, musala, dan surau, sering terdengar anak-anak tengah mengeja dengan bunyi, “alif fatah a, alif kasrah i, alif dhamah u, a-i-u”. Bunyi ini terus berubah sesuai dengan huruf yang tengah dieja, dirangkai, lalu dibaca.
Cara itu jika dipakai membaca huruf hijaiyah atau huruf Arab secara keseluruhan, butuh waktu lama untuk sekadar merangkainya dalam ayat Alquran.
Di sinilah Iqro menjadi jalan keluar. Iqro yang terdiri dari enam jilid tidak lagi dieja, melainkan menyajikan cara baca dengan sistem (suku) kata.
Mula-mula dipilih kata-kata yang akrab dan mudah bagi anak-anak, seperti “ba-ta”, “ka-ta”, “ba-ja”, dan sebagainya.
Setelah itu dilanjutkan dengan kata yang lebih panjang, kemudian kalimat pendek, lalu mempelajari kata yang ada di dalam surah-surah pendek.
Semuanya disajikan dengan sederhana sehingga yang belajar, terutama anak-anak, bisa mudah mencerap ilmunya.
Nama Iqro diambil dari firman Allah yang turun pertama kali, yaitu “Iqro” yang artinya “bacalah”. Mulanya Iqro diuji coba ke anak-anak yang diasuh oleh tim tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musala (AMM), Yogyakarta.
Tahun 1988, di tempat tinggalnya di Kampung Selokraman, Kotagede, didirikan Taman Kanak-kanak Alquran (TKA) untuk anak usia 4-6 tahun, dan setahun kemudian didirikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) untuk anak usia 7-12 tahun.
Dari sanalah awalnya Iqro disebarkan. Lama kelamaan, ilmu itu keluar dengan cepat sehingga banyak digunakan di banyak tempat.
Iqro berhasil
Keberhasilan Iqro dalam membantu anak-anak belajar membaca Alquran membuat K.H. Munawir Sjadzali, menteri agama saat itu, menjadikan TKA dan TPA yang didirikan oleh As’ad Humam sebagai Balai Penelitian dan Pengembangan Lembaga Pengajaran Tartil Quran Nasional.
Sekarang, entah telah berapa cetakan Iqro yang melanglang buana di penjuru dunia. Saat Iqro terus memberi manfaat kepada banyak orang, kesehatan As’ad Humam justru semakin memburuk. Ia perlahan lumpuh.
“Suatu waktu, saya hanya ditemani sopir, pernah diajak ke pantai Parangtritis, Yogyakarta. Di situ beliau tak sungkan berlari-lari di pasir pantai, untuk melatih menguatkan otot-otot yang cenderung mendorong ke kelumpuhan itu,” tulis Usep Fathudin.
Namun, akhirnya ia tak dapat bertahan lagi. Jumat, 2 Februari 1996, As’ad Humam meninggal dunia. “Lewat sistem Iqro yang diciptakannya, K.H. As’ad Humam telah menyelamatkan masyarakat dari kebutaan terhadap Quran. Beliau adalah pahlawan penyelamat Quran,” kata Menteri Agama Tarmizi Taher dalam sambutannya saat mengantar penemu Iqro itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir.