Punahnya Budaya Karena Perubahan Zaman
Di Indonesia, kepunahan budaya seharusnya tidak terjadi apabila negara mampu menegakkan konstitusi secara utuh. Pada pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945, tertera sebuah amanat yang menyatakan pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Penulis Srihadi dalam Jurnal Ilmiah Pawiyatan dengan judul Pelestarian Budaya Nasional Melalui Kegiatan Tradisional (2013) menyatakan, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab mempertahankan budaya nasional dan lokal dari globalisasi, terlebih sentimen mempertahankan budaya lokal sering kali identik dengan sifat gengsi dan malu yang dirasakan masyarakat saat ini.
"Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku dan daerah, kini terasa sudah hampir punah,” tulis Srihadi.
Peran pemerintah dalam menjaga budaya Indonesia nampaknya bukan semata-mata obrolan ketakutan. Statistik Kebudayaan 2016 yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat total kesenian yang diperkirakan akan punah mencapai 167. Antara lain adalah seni pertunjukan sebanyak 30 buah, seni rupa (1), seni musik (33), seni tari (58), teater (6), kriya (1), tradisi lisan (1), sastra lisan (5), permainan rakyat (4), tutur (20), beladiri tradisional (4), dan tradisi (2).
Salah Globalisasi?
Globalisasi sering dianggap biang kerok punahnya budaya lokal. Sutiyono, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta dalam jurnalnya yang berjudul Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi menyatakan, di era globalisasi, budaya lokal yang bertahan sering kali mencirikan produksi seni yang sesuai dengan kepentingan pasar.
"Para seniman tradisional tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Segala bentuk karya seni yang berasal tradisi lokal tentu akan mempertimbangkan juga permintaan pasar," tulisnya. Oleh karena itu nilai yang seharusnya dibangun oleh sang seniman akan berubah arah, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pemesannya.
Dalam jurnal tersebut, Sutiyono membahas kondisi pengangkatan kesenian Jathilan, tarian tertua di Pulau Jawa yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang. Tarian ini memperlihatkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus sebuah pedang.
Jathilan juga diiringi alat musik gendang, bonang, saron, kempul, slompret dan ketipun. Dalam sajian aslinya, durasi yang dibutuhkan untuk menampilkan Jathilan yaitu selama enam jam, dari jam 12.00 siang hingga jam 18.00 sore.
Tetapi saat ini, industri memengaruhi pola penyajian Jathilan. Misalnya saat memasuki industri rekaman dalam format audio visual, durasinya dipersingkat menjadi satu jam dan dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan dengan harga lima ribu rupiah. Sementara dalam industri pariwisata, lama pertunjukan dikemas menjadi hanya satu setengah jam.
Ini menunjukkan, pencemaran nilai tradisional dan komersialisasi yang mengikis esensi dari pertunjukan tersebut telah terjadi. Di satu sisi, ini merupakan upaya pelestarian seni tradisional yang hampir punah. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit para wisatawan kritis yang mempertanyakan latar belakang dan keaslian seni Jathilan. Mereka kecewa ketika melihat kesenian tiruan.