Prabowo Tak Perlu Tunjuk Hidung soal Elite Maling
"Kita semua harus mewawas diri, karena yang dikatakan elite bermental maling itu adalah pemimpin yang tidak amanah, sudah banyak faktanya elite terlibat korupsi. Kalau kita masih melindungi koruptor-koruptor berarti kita merusak negara," ujar Nizar, melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Menurut Nizar, saat ini masyarakat harus lebih kritis. "Kalau kita masih berlagak beloon, pura-pura tidak tahu, kita enggak akan maju sebagai bangsa," tuturnya.
Nizar menilai, pidato Prabowo tidak perlu dijadikan polemik. Sebab, menurutnya, koruptor yang sudah ditangkap itulah elite yang bermental maling.
"Jadi tidak perlu main tunjuk hidung, menyebut orang, ya orang-orang yang telah diputus bersalah, baik korupsi di daerah maupun pusat, ya itulah yang menjadi permasalahan bangsa. Makanya kita tidak bisa mandiri di bidang pangan, mandiri di bidang sumber daya alam, dan mandiri dalam bidang pemerintahan," jelasnya.
"Pernyataan Pak Prabowo adalah warning atau peringatan terhadap elite di partai mana pun, di birokrasi, kalau dia mendapatkan jabatan harus amanah, jangan maling. Itu saja, enggak usah diributkan," tegasnya.
Menurut Nizar, elite politik siapa pun orangnya kalau dia amanah, menjadi bupati, wali kota, gubernur, dan presiden sekali pun jangan punya mental koruptor dan maling, karena itu merugikan rakyat.
(Infografis/era.id)
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang lemah dalam menjaga kekayaan alam. Pasalnya, sejak pertama kali merdeka, Indonesia belum dapat menikmati sumber daya alam yang dimiliki.
Hilangnya kekayaan alam Indonesia, kata Prabowo, disebabkan para elite pemerintahan yang kurang waspada. Dalam perspektif Prabowo, elite adalah orang-orang terdidik yang memimpin Indonesia.
"Elite kita minta ampun deh. Gua aja kapok sama elite Indonesia," kata Prabowo, dalam acara bertajuk Prabowo Menyapa Orang Jawa Barat, di Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/4/2018).
Hingga kini, berbagai permasalahan terkait pengelolaan SDA memang belum juga beres, meski sejumlah langkah telah dilakukan. Di sektor kehutanan misalnya, di mana supremasi hukum tengah coba diperkuat untuk mengatasi pembalakan kayu ilegal.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, selain pembalakan liar, isu perambahan hutan yang eksploitatif hingga menjaga kelestarian unsur keanekaragaman hayati jadi tantangan yang juga harus dihadapi pemerintah saat ini.
Terkait langkah pemanfaatan SDA berbasis hutan, Kementerian LHK mengaku sadar betul, setiap unsur yang ada dalam hutan harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, tanpa mengganggu kelestarian hutan itu sendiri.
"Menjaga hutan saat ini tidak hanya ditujukan untuk menjaga keberlangsungannya secara fisik, namun juga bagaimana menjaga keberlangsungan manfaat hutan itu sendiri, dan khususnya agar dapat memberikan kontribusi kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya," kata Siti Nurbaya dalam keterangan yang diterima era.id, Senin (2/4/2018).
Baca Juga : Kala Elite Bicara Tata Kelola Sumber Daya Alam
Menurut data Kementerian LHK, pemerintah telah berhasil mempersempit luas lahan kritis, dari 30.196.799 hektare di tahun 2016 menjadi 24.303.294 hektare di tahun 2017. Angka tersebut, diklaim Kementerian LHK sebagai hasil dari berbagai upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan pemerintah, bersama berbagai pihak terkait.
Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif. Sekalipun dikelola, tingkat produktivitas lahan tersebut akan rendah. Lahan kritis yang tetap dimanfaatkan untuk produksi bahkan sering mendatangkan kerugian, sebab hasil produksi enggak akan bisa mengimbangi biaya produksi.
Kementerian LHK sadar betul, upaya rehabilitasi hutan, apalagi memanfaatkan hasil sumber daya dari hutan untuk kepentingan masyarakat enggak bisa dilakukan sendirian. Peran masyarakat pun sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan.
"Tidak mungkin hanya Kementerian atau Pemerintah sendirian menangani permasalahan lahan kritis di Indonesia, semua pihak harus ikut terlibat dalam upaya pemulihan lahan kritis," kata Siti Nurbaya.
"Mengingat pemerintah melalui APBN hanya mampu melakukan rehabilitasi hutan seluas 500 ribu hektare per tahun. Kerja sama pemerintah dengan berbagai instansi BUMN, sektor swasta, serta masyarakat sangat diperlukan," tambahnya.