Ramalan 15.000 Ilmuwan tentang Masa Depan Bumi
Kemarin malam, kami baru saja mengakses sebuah jurnal berjudul World Scientists Warning to Humanity: A Second Notice. Dan sungguh, hasilnya sangat enggak baik. Menurut jurnal tersebut, ancaman terhadap peradaban umat manusia makin nyata. Jurnal BioScience itu menyebut berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang tahun-tahun belakangan sebagai pertanda buruk buat kelangsungan hidup manusia di bumi. Dampak perubahan iklim disebut-sebut akan meningkatkan risiko serius buat kesehatan manusia.
Selain itu, ketidakseimbangan ekosistem di bumi bakal mencapai tingkat paling buruk pada tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan populasi manusia yang enggak terkendali disebut akan memicu gelombang migrasi ke kota-kota besar di dunia dalam jumlah yang amat banyak. Belum lagi penggundulan hutan dan berbagai perilaku kurang ajar banyak manusia yang akan menyebabkan hilangnya akses air bagi jutaan manusia dan kepunahan spesies dalam jumlah besar.
Secara rinci, ada beberapa temuan mengkhawatirkan yang didapat oleh para ilmuwan dalam 25 tahun belakangan. Berikut di antaranya:
1. Terjadi penurunan 26 persen air bersih yang tersedia per kapita
2. Peningkatan 75 persen zona laut mati
3. Menghilangnya lebih dari 300 juta hektar tanah/hutan
Dapatkah jurnal ini dipercaya?
Entahlah. Kami enggak akan memaksa kamu memercayai berbagai prediksi ini. Tapi yang jelas, jurnal yang dirilis pada awal bulan November 2017 ini telah ditandatangani oleh 15.372 ilmuwan. Termasuk James Edward Hansen, ilmuwan Columbia University, Amerika Serikat yang berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran akan gawatnya potensi perubahan iklim, lewat testimoninya di kongres perubahan iklim tahun 1998. Sejak testimoni Edward, mata dunia soal perubahan iklim terbuka.
Edward bukan satu-satunya hal yang menjadikan jurnal ini penting. Seperti yang tertulis dalam potongan judul jurnal --A Second Notice-- bahwa rilis yang mereka keluarkan kali ini merupakan pembaruan dari jurnal serupa berjudul Worlds Scientists: Warning to Humanity yang sempat dirilis di tahun 1992. Saat itu, 1.700 ilmuwan dunia, termasuk para peraih Nobel di berbagai bidang ilmu pengetahuan, turut menandatangani jurnal tersebut.
Baca Juga : Dua Menit Jelang Akhir Peradaban
Isi jurnal pertama saat itu enggak jauh berbeda dengan yang kedua. Intinya, lewat dua seri jurnal tersebut, para ilmuwan sepakat menyatakan sikap mereka akan bahaya nyata yang mungkin muncul dari berbagai perilaku kurang ajar masyarakat terhadap lingkungannya. “Kami melakukan pembaruan data dari surat tersebut karena kami ingin memberi tahu masyarakat tentang keadaan termutakhir,” ujar William Ripple, ekolog di Oregon State University, yang menjadi salah satu penulis jurnal kedua, sebagaimana dilansir Motherboard.
Sebagai gambaran, Ripple memaparkan, sejak tahun 1992, emisi CO2 (Karbon dioksida) melonjak hingga 62 persen. Sementara itu, suhu global telah meningkat hingga 29 persen, setara dengan kemerosotan jumlah hewan vertebrata yang menjadi kunci dari kelestarian alam selama ini. Kita semua tahu bagaimana peran hewan vertebrata dalam menjaga kelangsungan alam.
Ikan misalnya, yang membantu kita membersihkan perairan. Atau burung-burung, yang membantu proses penyerbukan tanaman hingga pohon-pohon dapat tumbuh besar. Lalu, siapa yang mau menguras lautan jika ikan-ikan musnah? Atau siapa yang mau menebar bibit dan serbuk tanaman dan pohon di jutaan hektar lahan hijau di seluruh dunia jika burung-burung punah?
Enggak boleh cuek
Puluhan tahun lalu, kita mungkin bisa dengan entengnya mengabaikan berbagai peringatan yang telah diberikan alam. Toh, dahulu Bandung masih sejuk, enggak seperti hari ini. Tapi, kalau sampai gini hari masih abai juga, tamatlah kita. Apa kata dunia?!
Soal sikap abai pada peringatan alam ini, dua media massa terbesar di Amerika Serikat, New York Times dan Washington Post pun dahulu pernah sangat sembrono soal isu perubahan iklim. Bahkan, saat jurnal seri pertama dirilis, dua media massa itu mengacuhkan salinan jurnal yang dikirim para ilmuwan ke meja redaksi mereka.
Karenanya, para ilmuwan berharap jurnal kedua yang mereka rilis dapat menarik perhatian masyarakat dunia masa kini --masa di mana perubahan iklim mulai didalami sebagian besar manusia di bumi-- soal isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. "Kami berharap bahwa makalah kita dapat memantik perdebatan publik di mana-mana soal lingkungan hidup dan iklim global,” ujar Ripple.
Menurut Ripple, manusia harus kembali menyelaraskan kehidupan mereka dengan berbagai fasilitas dan pelayanan alam dengan mengedepankan kembali konsep simbiosis mutualisme antara hewan, tumbuhan, dan seluruh elemen lain dalam tatanan alam raya. “Itu semua (sikap acuh) tren yang mengkhawatirkan. Kita harus menjaganya. Kita perlu fasilitas pemberian alam untuk kelangsungan hidup spesies manusia di masa mendatang,” kata Ripple.
Baca Juga : 38 Burung Langka Kembali Teridentifikasi
Selain itu, Ripple berpandangan, sudah saatnya manusia berhenti menggunakan bahan bakar fosil. Dalam konferensi iklim PBB di Bonn, Jerman, beberapa waktu silam, Ripple dan sejumlah ekolog lain telah mengingatkan masyarakat untuk mulai menggunakan energi alternatif yang terbarukan. Jika enggak pindah ke energi yang lebih ramah, para ilmuwan memastikan potensi peningkatan emisi CO2 pada tahun-tahun ke depan akan makin parah.
Sejatinya, dalam tiga tahun belakangan, emisi CO2 berhasil ditekan hingga pada level stabil. Namun, melihat tren yang terjadi dalam kehidupan manusia era now, para ilmuwan pesimis. “Perubahan iklim nyata dan sangat berbahaya. Dan keadaan akan menjadi jauh lebih parah,” ujar seorang peneliti lain, Johan Rockström, Direktur Eksekutif Stockholm Resilience Centre.
Para ilmuwan sepakat, mengurangi emisi CO2 adalah target penting. Karenanya, jurnal yang terakhir mereka rilis turut merinci beberapa langkah yang dapat ditempuh manusia untuk putar balik dari tren berkehidupan yang makin mengkhawatirkan.
Misalnya dengan membangun lebih banyak taman, cagar alam, membatasi perdagangan satwa liar, menggalakkan program pengendalian penduduk dan pendidikan bagi kaum perempuan, memproduksi sebanyak mungkin energi alternatif terbarukan hingga beralih ke pola makan berbasis tumbuhan.
Sekarang, semua kembali pada kita. Kehancuran dunia mungkin hanya masalah waktu. Tapi, percayalah, kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan kehidupan kita. Kamu enggak mau kan dunia ciptaan Christopher Nolan di film Interstellar jadi kenyataan?!