Manuver Novel Baswedan dkk Dinilai Politis dan Janggal

ERA.id - Pengamat kebijakan publik Lisman Manurung menganggap manuver Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) janggal dan politis.

Lisman mengatakan bahwa persoalan peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) merupakan urusan tata usaha negara.

leh karena itu, dia menganggap Novel Baswedan dan kawan-kawan (dkk) tidak tepat jika mengadukan permasalahan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi, kalau udah urusan tata usaha negara, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ngapain harus ke mana-mana?" kata Lisman dalam keterangan persnya, Selasa (8/6/2021).

Kendati demikian, Lisman menyebut sah-sah saja jika seseorang melakukan uji materi (judicial review) tekait dengan undang-undang (UU) ke MK.

Namun, dalam hal ini, Lisman mengatakan seharusnya Novel Baswedan mengadu ke PTUN.

"Nah, sekarang kalau dibawa ke MK, janggal. Jadi, maksudnya begini, MK itu 'kan menilai apakah UU sudah tepat atau tidak, kalau mau lebih jujur lagi, sebenarnya MK itu fungsinya mengevaluasi UU apakah UU itu bertentangan dengan UUD," kata Lisman.

Ia juga menyarankan agar polemik di tengah masyarakat terkait dengan KPK hanya persoalan yang esensial.

Menurut dia, Novel Baswedan dkk. seharusnya tutup buku soal TWK KPK menjadi ASN.

Lisman menanggap manuver Novel Baswedan dkk. yang mengadu nasib ke beberapa instansi adalah politis. Namun, Lisman juga menyebutkan siapa saja boleh berpolitik.

"Ya, itu sudah politik sebenarnya. Itu hak rakyat berpolitik," ujarnya.

Sebelumnya, KPK mengumumkan hasil tes alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diikuti oleh 1.351 pegawai. Selanjutnya, 75 orang pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan itu pun dinonaktifkan. Pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara menyatakan 51 dari 75 orang itu tidak bisa bekerja kembali, sedangkan 24 di antaranya akan dibina.

Para pegawai KPK yang tak lolos menjadi ASN itu pun telah mengadu nasib ke Dewan Pengawas KPK, Ombudsman, Komnas HAM, hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Belakangan mereka juga menyebut hendak ke PTUN.

"PTUN kami pilih sebagai langkah terakhir. Kami pernah PTUN menang dan enggak dieksekusi," kata Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (4/6).