Pernah Dihapus MK, Pasal Penghinaan Presiden Muncul Lagi di RKUHP, Kok Bisa?

ERA.id - Pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden muncul lagi dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mencabut pasal tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, sempat menjadi perdebatan di tingkat Panitia Kerja (Panja) DPR RI pembahasan RKHUP. Sebab, ada yang menilai pasal penghinaan presiden menabrak putusan MK.

"Terkait pasal penghinaan Presiden dari awal ada perdebatan, banyak mengkritisi, pasal tersebut sudah dibatalkan oleh MK, pasal yang ada sekarang. Kok dimasukkan kembali, apakah itu tidak menabrak MK, itu kita perdebatkan dalam panja RUU KUHP pada saat itu," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/6/2021).

Namun, setelah melalui perdebatan panjang, pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menjadikan pasal penghinaan presiden sebagai delik aduan. Dengan demikian, pasal penghinaan presiden yang kembali masuk di dalam draf RKUHP tidak menabrak ketentuan dari MK.

Politisi PPP ini menjelaskan, di pasal yang dicabut MK disebutkan bahwa delik yang digunakan adalah delik biasa. Artinya, siapa saja bisa memperkarakan apabila ada pihak atau orang yang dianggap menghina kepala negara.

Sedangan delik aduan lebih bersifat hanya bisa diadukan oleh yang bersangkutan, dalam hal ini adalah presiden sendiri. Namun, apabila presiden sedang berhalangan maka bisa diwakilkan melalui surat kuasa.

"Itu argumentasinya, jadi tidak menabrak MK karena sifat deliknya sudah berubah. Diturunkan ancaman hukumannya, maka penegak hukum tidak bisa langsung kemudian menangkap dan menahan," papar Arsul.

Adapun alasan pemerintah dan parlemen mempertahankan pasal mengenai penghinaan presiden untuk menjaga martabat dan kehormatan kepala negara.

"Kenapa dipertahankan? Jadi untuk menjaga martabat dan kehormatan presiden, itulah disepakati pasal itu (pasa penghinaan presiden). Masa menghina presidennya sendiri dibiarkan begitu saja," kata Arsul.

"Hanya saja, supaya tidak menabrak putusan MK dirubah menjadi delik aduan," imbuhnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sharief Hiariej membenarkan adanya pasal mengenai penghinaan presiden di dalam draft RKUHP. Namun, isi pasal berbeda dengan yang sudah dicabut MK.

Eddy mengatakan pasal yang pernah dicabut MK tersebut ialah delik biasa. Sedangkan, kata dia, pasal yang ada dalam RKUHP ini ialah delik aduan.

"Itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Eddy di DPR RI, Senin (7/8).

"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden," imbuhnya.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Namun, kini pasal tersebut tetap muncul dalam draf RKUHP terbaru di Pasal 218 dan 219.