Mahfud MD Ungkap Pendapat Jokowi Soal Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

ERA.id - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan jawaban Presiden Joko Widodo mengenai perlu tidaknya pasal penghinaan presiden masuk ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kepada Mahfud, Jokowi mengaku menyerahkan keputusan tersebut kepada DPR RI selaku lembaga legislatif.

Mahfud mengatakan, jawaban itu dia dapatkan sebelum menjabat sebagai Menko Polhukam dan sebelum pasal penghinaan presiden menjadi polemik.

"Sebelum jadi Menko dan ada polemik perlu tidaknya pasal penghinaan kepada Presiden masuk KUHP, saya menanyakan sikap Pak Jokowi. Jawabannya,'terserah legislatif mana yang bermanfaat bagi negara. Kalau bagi saya pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan'," kata Mahfud seperti dikutip dari cuitan di akun Twitter pribadinya @mohmahfusmd pada Kamis (10/6/2021).

Artinya, menurut Mahfud, sikap Jokowi sebagai seorang presiden menyerahkan keputusan tersebut kepada DPR RI sebagai lembaga pembuat produk perundang-undangan. Namun, secara pribadi, pasal tersebut tidak memiliki pengaruh banyak karena dia tidak pernah memperkarakan siapa pun yang menghinanya.

"Jadi menurut Pak Jokowi sebagai Presiden 'mau memasukkan atau tidak pasal penghinaan kepada Presiden ke KUHP putusannys terserah pembahasan di legislatif; pokoknya apa yang baik bagi negara'," kata Mahfud.

"Tapi bagi Pak Jokowi sebagai pribadi masuk atau tidak sama saja, sering dihina juga tak pernah mengadu/memperkarakan," imbuhnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menilai, pasal penghinaan presiden pasal tersebut masih perlu ada untuk menjaga martabat presiden hari ini hingga yang akan datang. Selain itu, sebangai bangsa Indonesia juga perlu menjaga keadaban yang dimiliki.

Selain itu, kata Yasonna, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sama sekali tak berniat membatasi kritik. Toh, menurutnya, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik tersebut.

"Bukan berarti mengkritik Presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, enggak apa-apa. Bila perlu, kalau tetap tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia kok," kata Yasonna saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6).

"Tapi, sekali menyinggung hal personal (tentu tidak bisa, red.). Kita tahu bersama Presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu. Presiden memang tenang-tenang saja. Beliau mengatakan pada saya tidak ada masalah dengan pasal ini. Tetapi, apakah kita membiarkan Presiden yang akan datang juga diperlakukan demikian? Enggak boleh kita biarkan. Itu enggak benar," katanya.

Untuk diketahui, di dalam draf terbaru RUU RKUHP muncul pasal pidana yang bakal dikenakan apabila melakukan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, hingga lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Ketentuan pidana itu tertuang dalam Bab II tentang tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pada bagian kedua mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, disebutkan bahwa orang atau pihak yang melakukan penghinaan akan dikenakan ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat (1) yang berbunyi:

"Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Hukuman pidana penjara naik satu tahun atau 4,5 tahun apabila penghinan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lainnya. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 219 yang berbunyi:

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."