Jalan Panjang 'Peradilan' Dokter Terawan
Bukan cuma menyoroti nasib dokter Terawan, Komisi IX juga mendorong pemerintah mendalami metode pengobatan dokter Terawan yang dikenal dengan metode cuci otak.
"Kita meminta pemerintah untuk meneliti metode terapatik menggunakan heparin agar mendapatkan kepastian soal itu. Kedua kita meminta pemerintah menyelesaikan masalah ini secepatnya. Ketiga pemerintah menjelaskan keamanan metode ini," ujar Dede Yusuf, Ketua Komisi IX di Gedung DPR, Rabu (11/4/2018).
IDI sendiri telah menyatakan setuju dengan usulan Komisi IX. Tapi, IDI ingin semua paham bahwa kasus dokter Terawan bukan kasus sederhana. Secara akademis dan kognitif, kasus ini bisa saja diselesaikan dengan waktu cepat. Tapi, untuk menuangkan temuan-temuan menjadi satu kebijakan adalah persoalan lain.
Asal tahu saja, untuk mendapat temuan-temuan yang bisa dijadikan landasan dari kebijakan itu sendiri saja sudah sangat memusingkan. Bayangkan, setiap temuan dalam penelitian harus diikuti dengan uji klinis untuk melihat ada atau tidak adanya dampak negatif buat masyarakat.
Enggak cuma itu, setelah uji klinis, para peneliti wajib mencatat sebanyak apa eror yang terjadi dari sebuah objek yang diteliti, yang dalam hal ini adalah metode pengobatan dokter Terawan. Jika dalam penelitian ditemukan angka eror di atas lima persen, maka kita semua harus mengucapkan selamat tinggal pada metode cuci otak dokter Terawan.
"Kita akan mencatat apakah dia lebih banyak erornya atau erornya lebih sedikit. Kalau dalan penelitian, kalau syarat erornya lebih dari 5 persen berarti tidak boleh diterapkan dalam pelayanan masyarakat," jelas Ketua IDI, Ilham Oetama.
Buat dokter Terawan sendiri, dia bisa bernapas agak lega sementara waktu. Pengurus Besar IDI (PB IDI) telah memutuskan buat menunda eksekusi surat keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
Dalam surat keputusan itu, tertulis MKEK memberhentikan sementara dokter Terawan sebagai anggota IDI selama 12 bulan sekaligus merekomendasikan pencabutan izin praktiknya.
Menurut Ilham Oetama, penundaan eksekusi dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah pasien yang diobati dokter Terawan, yang menurut banyak media massa berjumlah fantastis, yakni 40 ribu pasien.