Catatan Hitam Pendapat yang Dibungkam
"Kitab suci fiksi atau bukan? Siapa yang berani jawab?! Kalau saya bagian definisme fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi, karena belum selesai, belum tiba itu," ungkap Rocky di sebuah program televisi swasta.
Rocky, dalam program televisi itu memaparkan panjang lebar argumentasi terkait pernyataannya. Sejak awal, Rocky nampak sadar betul, pendapatnya itu dapat memancing delik alias diperkarakan secara hukum. "Saya tahu akibatnya, karena itu saya terangkan, supaya enggak dicari-cari jadi delik. Saya mengerti problem itu dari awal itu," kata Rocky.
Menurut penjelasan Rocky, fiksi adalah sebuah kata yang memiliki konotasi amat positif. Fiksi adalah energi untuk mengaktikfkan imajinasi. Hanya saja, dia sadar betul kenapa pendapatnya bisa sangat menghebohkan. Menurut Rocky, banyak orang telah salah memaknai kata fiksi.
Fiksi banyak dimaknai sama dengan kata fiktif. Padahal, dua kata itu sama sekali berbeda. Fiksi adalah kata sifat yang dapat diartikan sebagai imajinasi, keyakinan, atau pun harapan. Sedang fiktif adalah kata kerja yang berarti mengada-ada.
"Anda ucapkan doa, sebetulnya anda masuk dalam energi fiksional, karena ada pupuk harapan, bahwa dengan untaian doa itu, anda akan tiba di tempat yang indah. Begitu fiksi bekerja," kata Rocky.
Meski begitu, Permadi menangkap pendapat Rocky dengan cara berbeda. Lewat penelusuran Permadi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fiksi dapat berarti rekaan, khayalan, dan tidak berdasar pada kenyataan. Sementara kitab suci berarti panduan hidup yang dimiliki umat beragama di Indonesia. Penggabungan kata fiksi dan kitab suci itu yang kemudian dijadikan tafsir delik Permadi dan Cyber Indonesia.
Dalam laporan bernomor LP/2001/IV/2018/PMJ/Dit.Reskrimsus tanggal 11 April 2018, Permadi membawa barang bukti tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) yang diambil dari akun resmi TV One. Dalam laporan itu, Rocky dijerat dengan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45A Ayat 2 Undang-undang (UU) RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Baiklah, cukup sampai di situ. Kita enggak akan masuk terlalu jauh dalam polemik antara Rocky dengan Permadi dan Cyber Indonesia, apalagi menafsirkan pernyataan Rocky.
Terjerat pasal karet
Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah lama jadi momok bagi kebebasan berpendapat. Pasal ini kerap dipermasalahkan karena sering disebut-sebut sebagai pembungkam kebebasan berpendapat. Selain itu, pasal ini juga sering dijadikan senjata ampuh dalam pertarungan politik.
Ya, enggak heran. Sebab Pasal 156 a sendiri lahir akibat pengaruh cukup besar dari dinamika politik di Indonesia. Sejarah lahirnya pasal 156 huruf a enggak lepas dari Penetapan Presiden (PP) Nomor 1/PNPS tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Terkait itu, Setara Institute mencatat seenggaknya ada 97 kasus penistaan atau penodaan agama di Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu 1965 --sejak pasal itu dilahirkan-- hingga akhir 2017. Kasus dugaan penistaan agama makin banyak setelah jatuhnya rezim Orde Baru, ketika masyarakat bisa lebih bebas berpendapat.
Menurut catatan Setara Institute, peningkatan jumlah kasus penistaan atau penodaan agama tergolong amat tinggi. Dari sembilan perkara selama Orde Baru, menjadi 88 kasus selepas Orde Baru. Mungkin masyarakat saat itu ibarat bayi baru bisa bicara, apa pun yang terlintas di kepala, itu pula yang diucap.
Dari 97 kasus penistaan atau penodaan agama, 76 perkara diselesaikan lewat jalur persidangan, sementara sisanya dibereskan tanpa campur tangan penegak hukum alias non yustisia. Hal menarik lainnya, 62 kasus penistaan atau penodaan agama turut memancing keterlibatan massa. Sedang dari segi golongan agama, Islam jadi agama yang paling sering disinggung dalam kasus-kasus penistaan dan penodaan agama dengan 88 kasus, jauh di atas Kristen dengan empat kasus, Katolik (3), atau Hindu (2).
Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute menjelaskan, wajah penegakan hukum dalam kasus penistaan agama adalah sebuah proses bias. Dia juga menilai institusi-institusi peradilan masih berperan sangat lemah dalam kasus-kasus penistaan atau penodaan agama.
Selain itu, Ismail melihat proses hukum dalam kasus penistaan atau penodaan agama enggak pernah betul-betul murni penegakan hukum. Setara Institute melihat, selain persoalan agama, kasus-kasus penistaan dan penodaan agama jelas sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat.
"Kasus-kasusnya sebagian besar sepele, dan semuanya dilatarbelakangi ada konteks konflik atau polemik," kata Ismail dilansir dari laman resmi Setara Institute, Kamis (12/4/2018).
"Karena itu, dia sesungguhnya tidak steril sebagai sebuah peristiwa hukum yang betul-betul bisa diverifikasi sebagai yang melanggar. Sekali lagi, bukan cuma soal isu agama, tapi yang paling penting adalah ancaman kebebasan berekspresi, berpendapat,” tambahnya.
Kasus besar di Indonesia
Untuk mengingatkan kembali akan peliknya persoalan ini, kami telah menghimpun sejumlah kasus penodaan atau pun penistaan agama paling heboh selama ini.
1. HB Jassin - Langit Makin Mendung 1968
Langit Makin Mendung adalah sebuah cerita pendek yang menceritakan turunnya Nabi Muhammad dari langit ke sekitar Monas untuk mencari tahu kenapa semakin sedikit umat Islam yang masuk ke surga. Cerpen yang dikarang oleh anonim bernama pena Kipandjikusmin ini dipublkasikan di Majalah Sastra dan memancing polemik ketika itu. Editor Majalah Sastra H.B Jassin yang didesak mengungkap identitas penulis tersebut menolak dengan tegas dan merelakan dirinya untuk menanggung hukuman akibat tuduhan penistaan dari cerpen tersebut. Akibatnya, selain terkena hukuman penjara, HB Jassin juga harus merelakan majalah miliknya dibredel dan tak bisa terbit lagi.
2. Arswendo Atmowiloto – Polling Survei
Pada 15 Oktober 1990, Majalah Monitor menyelenggarakan survei untuk para pembacanya. Dalam survei itu, Majalah Monitor memancing para pembaca mengirimkan pendapatnya lewat kartu pos soal siapa tokoh yang paling mereka kagumi. Survei itu kemudian jadi masalah karena turut menyertakan nama Nabi Muhammad sebagai tokoh populer yang berada di peringkat sebelas. Tekanan massa pun bermunculan, mereka menganggap Majalah Monitor telah menghina Sang Nabi Besar. Atas polemik itu, Pimpinan Redaksi Majalah Monitor, Arswendo Atmowiloto dipenjara dengan hukuman lima tahun.
4. Lia Eden - Klaim Kenabian
Lia Eden mengaku sebagai pemimpin ajaran Kerajaan Tuhan Tahta Suci. Klaimnya tersebut membuat massa mengamuk dan menuduh Lia melakukan penodaan agama. Akhirnya, Lia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun 6 bulan. Buat Lia, itu bukan yang terakhir, sebab pada tahun 2009, Lia juga dijatuhi hukuman 2,5 tahun akibat kasus yang sama.
5. Ahok – Al Maidah
Bekas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dituduh menistakan surat Al Maidah Ayat 51 saat berpidato di sela kunjungan dinasnya di Kepulauan Seribu. JPU yang diketuai Ali Mukartono menganggap Ahok melanggar pasal 156 KUHP, yakni melakukan pidana pernyataan permusuhan dan kebencian terhadap suatu golongan.