Terkuak, China Tolak Vaksin Pfizer, Lebih Pilih Sinovac Hingga CanSino Demi Gengsi
ERA.id - Otoritas China hingga kini belum mengizinkan penggunaan vaksin Covid-19 buatan Pfizer/BioNTech meski perusahaan farmasi lokal telah mendapat deal pengadaan vaksin mRNA tersebut sebanyak 100 juta dosis.
Melansir Fortune, (23/7/2021), perusahaan distributor lokal Fosun Pharma diketahui telah mendapat hak distribusi vaksin Pfizer di seluruh China. Namun, vaksin tersebut masih 'nganggur' karena belum segera terbitnya izin pemakaian.
Padahal, sejak data uji klinisnya dirilis pada November lalu, vaksin mRNA Pfizer/BioNTech untuk infeksi Covid-19 telah dianggap sebagai standar terbaik vaksin corona saat ini. Vaksin ini disebut 95% efektif mencegah infeksi Covid-19, yang efektivitasnya telah didukung dalam sejumlah makalah medis dan penelitian populasi di Israel.
Vaksin Pfizer telah disetujui di 72 negara, dan menjadi vaksin pertama yang mendapat izin dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, China, negara yang berambisi memvaksin 500 juta penduduknya per Juli ini, justru tidak segera memberi izin pada produk vaksin yang telah terbukti manjur tersebut.
Otoritas China malah meminta vaksin tersebut diuji klinis ulang - meski sebenarnya China sudah tidak menerapkan protokol semacam ini sejak 2016. Jennifer Bouey, pakar eidemiologi dan kesehatan publik China di Rand Corporation, menyebut China telah merelaksasi protokol uji klinis untuk produk asing sejak tahun tersebut.
Pihak Fosun sendiri menyebut uji klinis diperlukan untuk memenuhi aturan di China. Hasil uji klinis "adalah data kunci agar vaksin ini bisa dipakai di China," sebut Aimin Hui, kepala medis Fosun Pharma, dalam sebuah pernyataan.
Hasil uji klinis atas vaksin Pfizer/BioNtech di China diperkirakan akan selesai pada akhir Juli ini.
Vaksin Ikut Dipolitisasi
Bouey berpendapat rintangan administrasi terhadap vaksin Pfizer/BioNTech di China menunjukkan betapa vaksin tak terhindarkan dari upaya politisasi. Dilansir dari Fortune, Bouey berpendapat pemerintah China mungkin ingin menghindari kemungkinan vaksin Pfizer/BioNTech lebih populer daripada produk buatan lokal, seperti dari Sinovac, CanSino atau Sinopharm.
"Kaum kaya raya dan berkuasa bisa saja akan memilih langusng divaksin dengan Pfizer dan menyebabkan tegangan sosial," kata dia.
Koran 'plat merah' terbesar China, People's Daily, pada Januari sempat merilis artikel-artikel yang mempertanyakan keamanan vaksin Pfizer/BioNTech. Kala itu, satu warga lansia di Norwegia meninggal dunia usai divaksin. Insiden ini belakangan dibantah oleh otoritas Norwegia sebagai sesuatu yang saling terkait.
Di sisi lain, pada 8 Maret, Menteri Luar Negeri China Wang Yi membanggakan produk vaksin buatan dalam negeri China. "Keamanan dan efektivitas vaksin dari China mendapat pengakuan dari banyak negara di dunia," sebut Yi.
Kebanyakan produsen China dalam negeri China ini mengutip data uji klinis yang menyebut vaksin mereka hampir 100% efektif mencegah gejala berat infeksi Covid-19 setelah dua dosis penyuntikan.
Namun, hal tersebut mendapat bantahan dari pakar kesehatan setempat. Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China bahkan mendesak agar vaksin-vaksin Barat - seperti vaksin Pfizer/BioNTech - diizinkan dipakai karena "terbukti lebih manjur dalam mencegah infeksi" daripada produk lokal China, melansir The Wall Street Journal.
Sebuah penelitian di Thailand bahkan menyebut vaksin Sinovac - dari perusahaan China yang jutaan vaksinnya dikirim ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia - menimbulkan antibodi Covid-19 yang turun 50% setelah 40 hari penyuntikan dosis kedua.
Tekanan dari dalam negeri agar Beijing mengizinkan vaksin Pfizer/BioNTech pun kini makin kuat. Ditambah lagi, produsen China mulai keteteran memenuhi janji ekspor vaksin 560 juta dosis ke berbagai negara.
Izin penggunaan 100 juta dosis vaksin mRNA buatan Barat dianggap bakal sedikit 'melegakan' beban produksi dan memberi harapan bagi masyarakat. Meski, untuk itu, Beijing harus merelakan sedikit gengsi nasionalisme mereka.