Memahami Aturan Main Pemilu 2019

Your browser doesn’t support HTML5 audio
Jakarta, era.id - Banyak faktor yang membuat seorang calon legislatif (caleg) lolos ke DPR. Salah satu syarat mutlaknya adalah meraih suara mayoritas, tetapi apakah suara mayoritas saja cukup? Nah, kami sajikan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin jagoan kamu berhasil berkantor di kawasan Senayan pada 2019 mendatang.

Pemilu 2019 tentu berbeda dengan Pemilu 2014. Berbagai perubahan mengharuskan caleg beradaptasi dengan cara kampanyenya dan menyiapkan strategi pemenangannya lebih matang. Status partai, syarat parliamentary threshold, kondisi daerah pemilihan, dan peta politik partai, hingga kesiapan administrasi, serta finansial harus benar-benar disiapkan secara matang oleh para caleg yang bertarung demi kursi DPR.

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang diparipurnakan pada Jumat, (21/7/2017) silam menghasilkan lima poin yang akan membedakan Pemilu 2019 dengan sebelumnya. Lima kondisi tersebut antara lain; (1) sistem pemilu terbuka, (2) perubahan timeline presidential threshold, (3) parliamentary threshold, dan (4) metode konversi suara, serta (5) pembagian kursi per dapil, 3 untuk suara minimal dan 10 untuk suara maksimal (yang akan kami bahas di artikel selanjutnya).

Pertama, sistem pemilu terbuka dipertahankan untuk Pemilu 2019. Sistem pemilu ini sudah berjalan sejak 2009 dan menciptakan peluang bagi caleg yang mendapatkan suara terbanyak untuk bisa lolos menjadi anggota DPR. Hal ini tentu berbeda dengan sistem pemilu terdahulu, di mana para calon anggota DPR yang memiliki suara terbanyak belum tentu bisa lolos menuju Senayan apabila tidak berada di urutan teratas.

Kedua, isu presidential threshold (ambang batas presiden) juga menjadi pembahasan yang unik. Sebab, ini adalah modal awal untuk mencalonkan presiden. Dengan ditetapkan sebuah angka dalam presidential threshold, maka partai pengusung akan berusaha menyesuaikan kebutuhan suaranya sesuai angka yang ditetapkan. Pada Pemilu 2019, presidential threshold berada di angka 20 persen suara kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. 

Jika membandingkan dengan Pemilu 2014, di mana pileg dan pilpresnya terpisah, maka partai politik bisa menghitung dengan siapa mereka berkoalisi. Nah, pada Pemilu 2019, baik Pileg dan Pilpres diadakan secara berbarengan. Karenanya, presidential threshold diambil berdasarkan perolehan suara pemilu periode sebelumnya (2014).

Infografis bagaimana seseorang menjadi caleg (Hilda/era.id)

Ketiga, parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang mengatur syarat partai politik lolos ke DPR/DPRD, yaitu memiliki suara sebesar 4 persen di suatu tingkatan wilayah. Batas ambang 4 persen tentunya adalah tantangan sendiri bagi partai kecil atau partai baru yang pertama kali ikut pemilu.

Dari berbagai pengalaman, ambang batas parlemen telah beberapa kali menggagalkan sebuah partai untuk lolos ke Senayan. Seperti contoh, PBB dan PKPI yang gagal ke Senayan setelah suara nasional yang mereka dapatkan tak mencapai 3,5 persen, syarat parliamentary threshold Pemilu 2014.

Hal ini seringkali membuat caleg DPR partai seperti ini kena apes. Pasalnya, sekalipun caleg mereka juara di suatu daerah pemilihan (dapil), namun karena aturan ambang batas parlemen tadi, membuat partainya tadi tidak boleh masuk ke DPR. Tapi sistem ini memungkinkan PBB dan PKPI punya wakil di provinsi atau kabupaten/kota saat melewati ambang batas 3,5 persen. Misalnya, PBB memiliki fraksi di DPRD Bone, sementara PKPI mempunyai fraksi di DPRD Kabupaten Sedakau.

Baca Juga : Yuk Paham Politik!

Keempat, metode konvensi suara yang digunakan untuk menentukan caleg terpilih juga berubah. Apabila pada pemilu sebelumnya, KPU menggunakan sistem penghitungan Quote Harre, pada pemilu 2019 KPU akan menggunakan sistem Saint League Murni. 

Sistem Quote Harre sering kali dikenal dengan istilah bilangan pembagi pemilih (BPP). BPP digunakan untuk menetapkan suara sesuai dengan jumlah suara dibagi dengan jumlah kursi yang ada di suatu dapil. Metode ini cenderung merugikan partai besar dikarenakan hak untuk mendapat kursi secara maksimal harus terlempar pada partai bersuara kecil dikarenakan asas pembagian pemilih tersebut.

Sedangkan metode Saint League Murni, digunakan pada Pemilu 2019 ini, adalah metode penghitungan suara yang menggunakan angka pembagi untuk mengalokasikan kursi yang diperoleh setiap partai politik dalam sebuah dapil. Angka yang digunakan untuk pembagi adalah angka ganjil (1,3,5,7,dst). Jumlah suara yang telah dibagi oleh angka ganjil tersebut akan diperingkatkan dan menentukan siapa saja partai/caleg yang lolos.

Aturan yang berubah dari Pemilu 2014 ke Pemilu 2019. (Hilda/era.id)

Partai Kecil Selalu Tertindas

Pro kontra yang lahir dari peraturan pemilu baru rata-rata berasal dari mereka yang tidak memiliki akses yang cukup untuk mengikuti peraturan tersebut. Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Universitas Brawijaya, Muhtar Haboddin menjelaskan apapun perubahan yang dilakukan terkait UU tentang Pemilu, partai kecil selalu menjadi korban.

"Partai kecil dan partai baru pada dasarnya akan selalu dirugikan oleh semua sistem yang ditawarkan, karena mereka tidak memiliki akses untuk membuat peraturan," ujarnya saat dihubungi era.id beberapa waktu lalu. 

Muhtar menambahkan, sering kali keluarnya sebuah peraturan karena 'dimainkan' oleh partai besar. Maksudnya, partai besar adalah partai yang memiliki banyak kader di parlemen. Sehingga, hanya menelurkan kebijakan ataupun aturan sesuai keperluan fraksinya.

"Seperti contoh, UU Pemilu adalah produk dari Komisi II, nah kita lihat siapa petingginya dan apa partainya, yakinlah bahwa apa yang dihasilkan tidak akan jauh berbeda dari political interest partai mereka," tambahnya. 

Baca Juga : Jokowi dan Prabowo dalam Kacamata Psikologi

Dia menambahkan, bagian penting dari mereka yang ingin menjadi calon legislatif adalah kemampuan untuk melihat partai mana yang berpotensi lolos parliamentary threshold dan tentu memiliki akses finansial yang kuat.

Hal ini tentu rasional, sepopuler apapun seorang individu memiliki kemungkinan gagal melaju menjadi anggota legislatif.

"Persoalan bagi calon yang maju adalah seberapa teliti mereka melihat kesiapan finansial partainya, banyak kebutuhan seperti penguatan daerah pemilihan, membayar saksi, dan partai kecil selalu gagal memenuhi tuntutan tersebut," kata Mohtar.

Tag: pilihan asyik pemilu 2019