KPK: Adaptasi Digital Kartu Prakerja Jadi ‘Best Practice’ Program Pemerintah

ERA.id - Ketua KPK Firli Bahuri memberikan apresiasi kepada Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja.

Menurut Firli, sistem Prakerja adalah ‘best practice’ yang bisa dijadikan contoh bagi program-program pemerintah lainnya.

Menurut Firli, perubahan dan adaptasi digital yang dilakukan Kartu Prakerja terbukti bisa menjangkau begitu banyak daerah di Indonesia dengan meminimalisir persoalan dalam pelaksanaan program.

Apresiasi KPK itu disampaikan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari saat menjadi pembicara pada Kuliah Umum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). bertema ‘Prakerja dan Tantangan Kerja di Masa Depan’, Sabtu (14/8/2021).

Denni Purbasari memaparkan masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang memiliki 135 juta jumlah angkatan kerja dengan 90 persen di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. Demikian pula profil 7 juta jumlah pengangguran kita, 91 persen di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.

Doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, itu menekankan, dengan tuntutan profesi makin dinamis, kita harus beradaptasi, terutama dengan meningkatkan keterampilan diri.

Untuk ini, pemerintah tak bisa sendiri dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, harus bergerak bersama masyarakat termasuk individu per individu.

“Sayangnya, baik perusahaan maupun pekerja kita cenderung tak peduli dengan skilling, upskilling, dan reskilling sebagai upaya peningkatan kualitas angkatan kerja,” ungkapnya.

Dari sisi invididu, menyitir penelitian Bank Dunia, para pekerja menempatkan pelatihan peningkatan skill dalam peringkat paling buncit (10) pada prioritas pengeluaran pribadinya.

“Baik bagi pekerja dengan gaji skala upah minimum maupun yang jauh di atas itu, kebanyakan terlalu ‘pelit’ untuk menginvestasikan penambahan keterampilan bagi diri sendiri,” paparnya.

Begitu pula dari sisi manajemen. Perusahaan juga sedikit sekali menganggarkan dana untuk pelatihan bagi pengembangan karyawannya.

“Dari sisi perusahaan, budget pendidikan dan pelatihan untuk pekerja ada di prioritas ke-6 dari 10. Jadi, memang dari kedua belah pihak ada isu terkait rendahnya kemauan pengembangan diri sumber daya manusia,” jelasnya.

Pada kesempatan ini, Denni mengingatkan bahwa Kartu Prakerja bukanlah satu-satunya solusi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia angkatan kerja kita. Banyak kementerian dan lembaga lain juga bertanggungjawab atas hal itu. Baik untuk pendidikan dan pelatihan, maupun untuk bantuan sosial di masa pandemi.

“Prakerja menyasar bukan hanya pengangguran, tapi juga angkatan kerja secara keseluruhan. Karena baik penganggur maupun pekerja semuanya butuh beradaptasi meningkatkan keterampilan diri,” tegas Deputi Ekonomi Kepala Staf Kepresidenan 2015-2060 ini.

Denni juga menggarisbawahi, dari pemetaan kondisi angkatan kerja kita, terungkap bahwa demografi penganggur saat ini mayoritas pada tiga status, yakni usia yang makin muda, makin berpendidikan, dan makin ke perkotaan.

“Pandemi memberi kesempatan kita untuk merefleksikan diri. Dengan segala tantangan yang muncul, harapannya kita bisa ‘immerge’, muncul sebagai pribadi lebih baik. Setiap kesempatan yang ada harus kita manfaatkan semaksimal mungkin. Pendidikan dan keterampilan adalah jalan peningkatan menuju kesejahteraan kita semua,” jelas Denni.

Di sisi lain, Rektor Unusia Maksoem Machfudz menekankan tiga prinsip dasar pendidikan karakter yang dipegang teguh dalam pendidikan nahdliyin.  

“Tiga hal itu adalah integritas, inovatif, dan inspiratif. Jika ini dilakukan, Insyaallah ini akan mendasari kesiapan kita menghadapi masa depan,” kata Guru Besar Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada itu.

Maksoem Machfudz juga menyatakan keyakinannya, Kartu Prakerja dapat menjadi program terobosan untuk membangun perekonomian masa depan Indonesia lebih baik.

“Program Kartu Prakerja merupakan rancangan yang luar biasa dan menjadi impian utama kita selama ini. Negara sangat membutuhkan sistem seperti ini, di tengah fakta bahwa tak mudah bagi pemerintah untuk membentuk kesempatan kerja dalam sistem formal untuk masyarakat luas,” pungkasnya.