Eyang Sri, Pahlawan Kemanusiaan yang Tetap Dikenang
Sri memulai kariernya sebagai wartawan di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin langsung oleh Ir Soekarno. Kegemarannya di dunia tulis-menulis sudah terlihat sejak duduk di bangku SMP yang dia matangkan ketika menuntut ilmu di Akademi Jurnalistik Jakarta yang didirikan Kantor Berita Antara.
Setelah memutuskan menikah pada usia 18 tahun, Sri diberi kepercayaan untuk meliput isu-isu politik di Istana Negara hingga kehidupan pribadi Soekarno. Kedekatannya dengan presiden pertama Republik Indonesia ini ternyata tidak disukai beberapa pihak. Apalagi setelah AH Nasution merangkul Mayjen Soeharto untuk menggantikan Soekarno.
Sri, saat itu menjadi salah satu orang yang paling dicari militer Indonesia. Pada awal Oktober 1965, usai meliput kegiatan Kabinet Dwikora di Langsa, Aceh selama hampir satu bulan, ia yang hendak kembali ke rumahnya di Jakarta dicegah oleh keluarganya. Rumah sudah dikepung pasukan militer.
Bingung dengan kondisi yang terjadi, ia memberanikan diri pergi ke Istana Negara untuk meminta penjelasan. Namun di sana, ia malah diolok-olok dan mendapat kabar media tempatnya bekerja telah dibredel. Ia pun menyadari, dirinya telah terasing dan tidak ada yang berpihak kepadanya.
Kariernya sebagai wartawan akhirnya terhenti. Ia hidup sebatang kara dan tinggal nomaden menelusuri Jakarta hingga Surabaya sebelum akhirnya ditangkap Batalion Lintas Udara 18 di Blitar, Jawa Timur, pada 18 Juli 1968. Saat ditangkap, ia tengah beternak siput.
Sri menjadi tahanan politik selama 11 tahun dan melewati berbagai macam siksaan dan penderitaan di penjara. Siksaan terpedihnya adalah ketika dua pasukan militer menindihnya dengan menggunakan bangku kayu jati di Penjara Lodoyo yang menyebabkannya pendarahan selama satu bulan.
Ia lantas dipindahkan ke Posko Gang Buntu, Kebayoran Lama yang terkenal dengan sebutan 'neraka'. Di sana ia kerap ditanya tentang Lubang Buaya. Meski berulang kali menjawab tidak tahu, semua selalu berakhir dengan setruman di giginya.
Lantaran tidak kuat menahan siksaan, Sri minta dipindahkan ke penjara Bukit Duri. Di sini, ia menjalani hidup dengan mengonsumsi nasi bercampur pecahan kaca. Pada 1979, Soeharto membutuhkan donor dana negara. Demi cairnya donor tersebut Presiden kedua RI ini pun mengabulkan salah satu syarat. Yakni membebaskan tahanan politik, termasuk Sri.
Meski bebas, Sri masih harus melakukan wajib lapor ke Komandan Rayon Militer setiap hari, ke Komandan Distrik Militer setiap pekan, dan ke Komandan Daerah Militer III Siliwangi setiap bulan. Label 'ET' alias 'Eks Tapol' yang disematkan kepada Sri membuatnya tidak bisa mengikuti pemilihan umum. Sri baru benar-benar merasakan arti kebebesan sesungguhnya ketika Soeharto lengser pada 20 Mei 1998.
Di era reformasi, mantan wartawan ini kerap menyuarakan protesnya kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sri sempat tampil di hadapan publik dalam Simposium Nasional 1965 yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016 di mana dalam simposium itu, ia menyuarakan soal pembantaian massal itu dengan lantang.
“Bukan jumlah korban, tapi kebiadaban cara membunuh beberapa manusia yang tidak bersalah, dikubur hidup-hidup,” ujarnya saat itu.
Melodi lagu Tanah Airku yang ia nyanyikan dalam panggung orasi di Aksi Kamisan ke-500 tahun 2017 membakar semangat anak muda untuk terus mencintai negeri tanpa melupakan sejarah.
Eyang Sri menutup usianya pada Kamis, 26 April 2018 dini hari dalam usia belum genap 78 tahun. Namun kendati telah tiada, kisah-kisah hidup dan perjuangannya dalam melawan rezim Orde Baru menggugah banyak orang sekaligus membuatnya begitu dikenang.
Selamat jalan Eyang Sri....