Baik Buruk Mengaplikasikan Student Loan di Indonesia
Apa yang diminta Jokowi sebenarnya telah dilakukan Presiden kedua RI Soeharto melalui fitur kredit pendidikan bernama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Pada dekade 1980-an, PT Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai pihak penyelenggara memberikan kemudahan bagi mahasiswa strata satu untuk membayar uang kuliahnya melalui sistem kredit.
Dilansir dari Wartakonomi.co.id, kredit mahasiwa ini diberikan bagi mereka yang hendak melakukan penelitian atau untuk menyelesaikan tugas akhir. Setiap mahasiwa mendapat pinjaman senilai Rp750 untuk memenuhi kebutuhan mesin ketik, biaya operasional penelitian, dan pembelian buku-buku referensi.
Hanya saja, karena banyaknya mahasiswa yang tidak membayar tunggakan dan malah menggunakan bantuan tersebut untuk kebutuhan pribadi di luar pendidikan, program ini dihentikan pada 1982.
Kredit pendidikan yang diwacanakan Jokowi ini mendapatkan sambutan positif dari dua pihak yang bakal ikut andil dalam kelanjutan sistem ini di Indonesia, yaitu Menristekdikti M Nasir dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimbo Santoso
Wimbo Santoso mengaku, skema tersebut sedang dalam penggodokan OJK bersama lembaga terkait dan akan ada paket khusus bagi pendidikan dengan bunga sangat rendah. "Ini belum kami eksplor, kembangkan secara khusus, nanti kami umumkan akan tetapi bunganya tentu harus sangat rendah," ujarnya setelah mengikuti pertemuan pemimpin bank umum di Istana Negara.
Baca Juga : Perkuat Pendidikan dan Kebudayaan
Sedangkan M Nasir menyatakan, sampai saat ini, kementerian yang ia pimpim belum melakukan kajian lebih jauh terhadap permintaan presiden itu. "Sampai saat ini masih dikaji oleh Menteri Perekonomian, karena ini arahnya bisnis. Jadi, kami belum bahas, belum bentuk tim khusus juga," kata Nasir di gedung Kemenristekdikti dilansir dari Antara, (20/3/2018).
Bank dan fintech rebutan pasar
Perbankan menindaklanjuti permintaan Jokowi dengan membentuk berbagai program. Bank Rakyat Indonesia (BRI) misalnya, meluncurkan produk BRIGUNA Flexi Pendidikan untuk melayani skema peminjaman pembiayaan khusus mahasiswa magister (S2) dan doktoral (S2) yang sudah berpenghasilan tetap. Sepekan setelahnya, BNI meluncurkan program BNI Fleksi Pendidikan. Program ini menawarkan fasilitas pinjaman untuk memenuhi biaya pendidikan strata satu hingga tingkat doktoral.
Briguna Flexinya menawarkan suku bunga sebesar 0,7 persen per bulan atau 8,4 persen per tahun. Sementara BNI Fleksi Pendidikan menetapkan bunga kredit sebesar 8,4 persen per tahun dengan plafon pinjaman maksimal Rp500 juta dengan tenor pinjaman maksimal tiga tahun.
Baca Juga : Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Finlandia
Di tengah kehati-hatian perbankan dalam menginisiasi fitur kredit pendidikan, perusahan rintisan berbasis digital (startup) di bidang finansial dan tekonologi (fintech) justru menjawab tantangan yang diberikan Jokowi. Tiga start up fintech tersebut adalah Dana Cita, Dana Didik dan KoinWorks.
Ketiga startup fintech ini berusaha meraih ruang pada pembiayaan pendidikan tinggi setelah melihat banyaknya ruang yang mampu digarap pihak swasta. Dana Cita memberikan fasilitas pembayaran dari 12-15 persen per tahun dengan tenor hingga enam tahun. Sedangkan Dana Didik memiliki bunga sekitar 1,67 persen flat per bulan atau dengan tenor hingga 4 tahun. KoinWorks menawarkan peminjaman dengan bunga mulai dari 9-15 persen flat per tahun.
Ilustrasi grafis (Rahmad/era.id)
Belajar dari pengalaman AS
Namun demikian, lahirnya wacana student loan ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sikap kontra lahir setelah student loan di AS mengalami krisis karena dua dari lima peminjam dana pendidikan gagal membayar utangnya. Data dari Brookings Institute (2014) menyatakan, para lulusan sarjana berutang sekitar 1,4 triliun dolar di mana utang tersebut merupakan tipe utang terbesar kedua di Amerika Serikat setelah kredit properti. Berbagai analisa data juga mengungkapkan, 40 persen pinjaman mahasiswa yang masuk perguruan tinggi pada 2014 kemungkinan gagal melunasi pinjamannya pada 2023.
Di ranah kampus, ada banyak forum bicara yang menelusuri lebih lanjut dampak dari wacana ini. Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Hatib Abdul Kadir menceritakan pengalamannya dalam melihat langsung sistem student loan yang diaplikasikan di Amerika Serikat, terutama saat dia masih menjadi mahasiswa doctoral di University Of California, Santa Cruz beberapa tahun yang lalu.
“Di Universitas California, kalau wisuda itu rektornya memanggil mahasiswa dari setiap fakultas untuk mengecek utang yang masih dimiliki mahasiswanya. Dimulai dari rentang 2.000 dolar hingga 35.000 dolar,” ujarnya saat menjadi pembicara diskusi terbuka mengenai student loan yang diselenggarakan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa, Universitas Brawijaya, (27/4/2018).
"Mereka yang menggunakan fungsi student loan di tahun 1970an, masih memiliki utang hingga umurnya saat ini 55-60an. Ironisnya, saat dia belum melunasi student loan, anaknya yang baru masuk universitas harus terkena student loan,” Hatib menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan kredit pendidikan yang populer di Amerika sekitar 1970-1980-an itu.