Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Ruang Belajar
Dalam turunan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut disebutkan seluruh warga Indonesia wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama 9 tahun, 6 tahun di sekolah dasar dan 3 tahun di sekolah menengah pertama. Belakangan, pemerintah memberikan pelayanan sekolah gratis hingga jenjang sekolah menengah, alias 12 tahun.
Sayang, pendidikan wajib 12 tahun belum diterima seluruh masyarakat di Indonesia. Sebut saja masalah geografis--peserta didik yang berada di pedalaman--atau terkendala permasalahan ekonomi yang membuat murid putus sekolah.
Belum lagi, bicara tentang aksesibilitas untuk akses pendidikan untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) atau penyandang disabilitas, misalnya, pengguna kursi roda atau alat bantu lainnya. Sekolah khusus untuk siswa berkebutuhan khusus pun tidak banyak. Penyandang disabilitas jadi mendapat kesulitan dobel dalam mengenyam pendidikan.
Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mencatat, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12,15 persen dari jumlah penduduk. Sebanyak 10,29 persen masuk kategori sedang dan sebanyak 1,87 persen masuk dalam kategori berat.
Dari angka 12,15 persen tersebut, sebanyak 45,74 persen penyandang disabilitas tidak pernah atau tidak lulus sekolah dasar. Faktor yang membuat mereka tidak mengenyam pendidikan karena kesulitan akses dan terkendala ekonomi.
Baca Juga : Belajar Asik Lewat Startup Pendidikan
Padahal, negara harus menjamin penyandang disabilitas, sesuai UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pada Pasal 1 Ayat 2 berbunyi, "Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat".
Kemudian, pada Pasal 10 huruf A disebutkan, hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.
Baca Juga : Cermin Buram Kekerasan di Dunia Pendidikan
Namun, penerapan UU tersebut belum terlalu terlihat, lantaran akses pendidikan yang masih sempit bagi para penyandang disabilitas. Untuk beberapa kasus, penyandang disabilitas sering mendapat penolakan di sekolah umum dengan alasan sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas tidak memadai.
Oleh sebab itu, biasanya para penyandang disabilitas dirujuk ke sekolah luar biasa (SLB). Sebenarnya, penyandang disabilitas tidak harus selalu berada di SLB. Banyak dari mereka yang mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah umum.
Solusi yang muncul dari fenomena ini adalah sekolah inklusi, demi memudahkan penyandang disabilitas mendapatkan hak pendidikannya. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyatukan pendidikan reguler dan khusus dalam satu sistem pendidikan. Di mana, siswa berkebutuhan khusus dan siswa umum bisa bersama-sama mengembangkan potensi masing-masing dan mampu hidup harmonis dalam masyarakat.
Baca Juga : Menakar Ujian Nasional pada Mutu Pendidikan Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta anak. Namun, baru sekitar 18 persen yang mendapatkan layanan pendidikan inklusi.
Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB atau sekolah inklusi.
Oleh sebab itu, hanya 115.000 ABK bersekolah di SLB, sedangkan 299.000 lainnya mendapatkan pendidikan di sekolah inklusi.
Hingga kini pencanangan sekolah inklusi sudah mulai menjamur di tanah air, kurang lebih sudah terdapat 32.000 sekolah reguler yang menjalankan program sekolah inklusi yang tersebar di berbagai daerah.