Peringatan 20 Tahun Reformasi : Kelahiran Otonomi Daerah

Your browser doesn’t support HTML5 audio
Masih bagian dari artikel berseri Peringatan 20 Tahun Reformasi. Melalui artikel ini, kami akan membahas sejarah terbentuknya otonomi daerah, cikal bakal pilkada. Seperti halnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto, otonomi daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari peringatan 20 tahun reformasi.

Jakarta, era.id - Di awal masa kemerdekaan Indonesia, sejumlah pemberontakan melawan ketimpangan kekuasaan di Jakarta terjadi di Sumatera dan Sulawesi. Untuk menjamin keutuhan NKRI, Presiden Soekarno dan jajarannya kemudian menerbitkan Dekrit Presiden No.6/1959.

Dekrit tersebut lahir dengan segala kekuatan yang terpusat di tangan Soekarno. Ya, Soekarno adalah Panglima Besar Revolusi sekaligus presiden seumur hidup Indonesia. Dekrit inilah yang memberikan corak tersendiri dalam karakter pemerintahan Indonesia yang kental dengan sifat sentralisasi.

Orde Lama kemudian tumbang dan lahirlah Orde Baru. Pada masa ini, pengukuhan sentralisasi Indonesia dimulai dengan UU No 5/1974 yang merumuskan supremasi pusat atas daerah-daerah. Melalui keputusan ini, pemerintah mendefinisikan provinsi dan kabupaten sebagai tingkat-tingkat yang otonom. Tetapi dalam perjalanannya, pemerintah pusat menjadi pihak yang berwenang untuk melakukan intervensi pembangunan maupun mempengaruhi kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah.

Orde Baru menggunakan pendekatan top-down, yang memiliki keterkaitan dengan sejarah Dekrit Presiden No 6/1959. Dalam sistem pengawasan ini, Soeharto berupaya meminimalisasi segala bentuk potensi pemberontakan yang timbul di daerah-daerah.

Dengan semakin kuatnya peran Jakarta dalam pembangunan maupun kebijakan di daerah, tidak heran jika sejumlah media melaporkan Soeharto sebenarnya tengah berusaha mengambil alih pemilihan tampuk kepemimpinan daerah secara implisit.

Dengan sistem sentralisasi yang kokoh, pembangunan Orde Baru menghasilkan kepatuhan yang mutlak dan protokoler. Sebagai contoh, penyaluran anggaran dikelola oleh pusat dan disebarkan ke daerah. Berbagai komoditas alam seperti barang tambang dan minyak bumi dikuasai pusat. Tapi celakanya, penguasaan minyak tambang itu kemudian 'diserahkan' pada pihak asing untuk 'diolah' lebih lanjut. Seperti keberadaan Freeport di Papua, Newmont di Sumbawa dan Exxon di Blok Cepu.

Hal yang sama terjadi di Arun, Bontang, Natuna dan Musi Banyuasin di mana negara mengeksplorasi jutaan kubik gas alam dan langsung mengekspornya secara mentah tanpa terlebih dahulu mengolahnya untuk mendapatkan nilai tambah. Akibatnya, banyak penduduk lokal yang tidak merasakan trickled down (tetesan rezeki) dari sumber daya alam di wilayahnya.

Dengan kondisi yang sangat represif tersebut, Orde Baru secara literal memiliki segalanya. Orba menguasai seluruh komoditas alam di setiap jengkal tanah Indonesia. Mereka juga tidak kekurangan sumber dana/anggaran dan memiliki otoritas penuh dalam pengelolaannya. Seolah belum cukup, pemerintah pusat juga memiliki akses untuk mengurus perizinan maupun menampung segala dana dari investasi-investasi asing.

Baca Juga : Peringatan 20 Tahun Reformasi : Mahasiswa Tolak Undur Reformasi

Untuk mempertahankan hegemoninya, sentralisasi Orde Baru juga diperkuat oleh peran militer yang dijalankan dari pusat melalui provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Pada 1970, hampir 75 persen kepala daerah tingkat I diambil dari kalangan militer. Hal ini terulang pada 1996-1997 di mana 14 dari 27 gubernur di provinsi Indonesia berasal dari kalangan militer.

Lahirnya Orde Reformasi

Ketika Orde Baru runtuh dan Orde Reformasi bersemi di Indonesia, segala tatanan asimetris yang telah dibangun selama 32 tahun runtuh seketika. Gelombang demonstrasi bergulir di mana-mana, mengutuk tindakan sewenang-wenang rezim Orde Baru yang dianggap gagal menjalankan amanat UUD 1945.

Dimulai dari gerakan mahasiswa, tercetuslah 6 Tuntutan Reformasi di mana salah satu poinnya adalah mendesak dihapuskannya bentuk sentralisasi dan digantikan dengan desentralisasi. Singkatnya, reformasi menghendaki adanya perubahan mendasar terkait hubungan antara pusat dan daerah. Perubahan ini mewajibkan hubungan antarpihak di dalamnya menjadi lebih adil dan transparan. 

Ketimbang dikuasai pusat, pemerintah daerah kini bisa lebih leluasa untuk mengelola sumber daya alam di daerahnya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat lokal tanpa bersinggungan dengan kepentingan nasional.

Baca Juga: Peringatan 20 Tahun Reformasi: Deklarasi Ciganjur

Gerry Van Klinken dan Henk Schulte dalam bukunya yang berjudul Politik Lokal di Indonesia (cetakan ke-2, 2004) menyatakan, desentralisasi mengacu kepada pergeseran, pengambilalihan kebijakan dan devolusi. Kebijakan tersebut menyangkut transfer kekuasaan dari kekuatan penuh pusat kepada pemerintahan yang lebih rendah, seusai dengan Undang-Undang Tahun 2001. 

“Desentralisasi adalah delegasi tugas tertentu saat pengaruh pusat masih menguasai tanggung jawab keseluruhan apabila dibandingkan dengan UU Tahun 1974,” tulis Van Klinken dan Schulte.

Desentralisasi juga bertujuan untuk merapikan kembali kekacauan pengelolaan sumber daya alam dan anggaran yang telah terjadi saat jatuhnya Orde Baru. Dalam perkembangannya, desentralisasi juga diperkuat dengan diundangkannya Paker UU 1999 tentang pemerintahan daerah (Paket UU 1999) dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah (UU Perimbangan Keuangan 1999).

Ilustrasi grafis otonomi daerah (Yuswandi/era.id)

Munculnya Raja Daerah

Dengan keluarnya sejumlah undang-undang tersebut, sistem pemerintahan Indonesia berubah secara drastis. Pemerintah pusat tidak lagi memegang kekuatan penuh dalam pengelolaan negara.

Pemerintah daerah melalui otonomi daerah menguatkan perannya untuk mengelola secara mandiri dan sekaligus menguatkan posisi tawar kabupaten/kota saat berhadapan dengan pemerintahan pusat. Gede Sandra dalam tulisannya di laman rmol.co (2017) menyatakan, praktik perpindahan kekuasaan ini tidak selalu berjalan mulus karena dalam realitanya sering terjadi fenomena raja-raja kecil di daerah.

Mereka yang terkekang selama 32 tahun dan diperalat 'raja nasional' bangkit dan menguasai panggung politik di daerahnya. Tak jarang, mereka memilih menjadi 'raja daerah' kala menguasai pengelolaan sumber daya alam maupun anggaran di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi.

Baca Juga : 20 Tahun Lalu: Intelektual Kampus Tuntut Reformasi

Selain posisi eksekutif (Pemda), pemerintah pusat juga memberikan perimbangan kekuatan terhadap posisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada masa itu, melalui UU Pemda 1999, DPRD diberikan mandat dan otoritas untuk memilih kepala daerah dan wakilnya berdasarkan mekanisme yang diakui oleh negara.

Karena aturan itu, kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan kemudian DPRD yang dapat memberhentikan kepala daerah apabila kepala daerah melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan kewenangannya.

Disahkannya Paket UU 1999 tidak membutuhkan waktu lama. Bahkan semenjak digulirkan pada tahun 2000-an, desakan revisi datang dari berbagai pihak, khususnya dari Kementerian Dalam Negeri dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Kedua instansi ini merupakan pihak yang terkikis kewenangannya akibat pemberlakuan Paket UU 1999.

Dalam perkembangan terkini, keran demokrasi yang makin meluas mendorong terjadinya pemilihan langsung di berbagai tingkatan pemerintahan. Mulai dari level kabupaten/kota hingga nasional, seluruh posisi publik tersebut kini harus melalui pemilihan langsung yang secara konstitusi dijamin kerahasiaan maupun aspek langsungnya.

Baca Juga : Peringatan 20 Tahun Reformasi: Cara Soeharto Berantas Korupsi

Tag: peringatan 20 tahun reformasi presiden soeharto