Proses Hukum Kasus Pemerkosaan Anak oleh Ayah Tiri di Tangerang Janggal, Tersangka Tak Ditahan Dan Masih Berkeliaran
ERA.id - Proses Hukum Kasus Pemerkosaan Anak Tiri di Tangerang Janggal, Tersangka Tak Ditahan Dan Masih Berkeliaran. Terdakwa kasus dugaan pemerkosaan anak tiri yang masih di bawah umur (13) di Kota Tangerang, RMS tidak ditahan.
RMS tidak ditahan dengan alasan dirinya mengidap penyakit menular yakni Hepatitis B Kronis. Namun demikian, pihak keluarga korban menilai keputusan penangguhan masa tahanan tersebut janggal.
Bukan tanpa alasan, seharusnya penangguhaan masa tahanan dapat dilakukan bagi terdakwa yang ancamannya di bawah lima tahun. Sedangkan, RMS didakwa di atas lima tahun.
Penasehat Hukum Keluarga Korban, Fikri Abdullah mengatakan proses ini janggal. Padahal berdasarkan Pasal 21 ayat 4 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan dapat diberikan kepada tersangka atau terdakwa dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih dan melakukan tindak pidana tertentu.
Terdakwa dengan masa hukuman di bawah 5 tahun dapat mengajukan permohonan masa penangguhan penahanan kepada pejabat berwenang, jelas dia.
Jenis penahanan ada 3 yang dibedakan pada lokasi penahanannya yaitu penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota. Penahanan dilakukan agar mudah melakukan pengawasan dan memperlancar proses penyidikan.
"Kita pertanyakan kok masih dikabulkan penangguhaan penahanannya Padahal ini kan sudah ancaman diatas lima tahun," katanya, Rabu, (3/11/2021).
Kejanggalan lainnya yakni kehadiran RMS pada setiap sidang. Kata Fikri, bila RMS dinyatakan Hepatitis B Kronis seharusnya dia berada dalam perawatan intensif.
"Memang kan kita juga kita mempertanyakan dong, kok terdakwa masih ikut persidangan dan tanpa diajukan penahanan. Ada hal krusial, ini kalo sakit terdakwa sakit harusnya kan dirumah tidak hadir di persidangan. Kok Penangguhan penahanan ini masih dikabulkan tidak segera dilakukan penahanan," kata Fikri.
Fikri mengaku dia belum pernah melihat hasil diagnosa RMS.
Pihak keluarga korban kata dia sempat meminta hasil diagnosa RMS di rumah sakit yang merawatnyan namun ditolak.
pihak rumah sakit beralasan hal hasil diagnosa dapat diambil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) saja.
"Tapi ditolak sama Rumah Sakit ini bukan kapasitasnya harusnya APH yang minta rekam medis tersebut, sehingga prinsipal (keluarga korban) kita engak bisa apa-apa lagi kan, karena rumah sakit sudah seperti itu," ungkap Fikri.
Pihaknya pun akan mencoba bersurat ke Kejari Kota Tangerang untuk meminta rekam medis tersebut.
"Walaupun keluar omongan kata jaksa bukan ranah jaksa. Yang berhak meminta rekam medis di rumah sakit adalah APH. Penegak hukum dalam hal ini kan pengacaranya korban ya kejaksaan," tutur Fikri.
"Kalo dari kami masih kami akan telusuri lebih jauh, karena kami informasinya belum kami dapatkan secata utuh tapi kami sebagai pengacara keluarga akan kami telusuri info tersebut," tambah Fikri.
Diketahui, RMS yang diklaim diagnosa Hepatitis B Kronis, namun setelah ditelusuri terungkap hanya mengidap dispepsia atau gangguan pencernaan.
Hal itu terungkap setelah pihak keluarga korban menyurati rumah sakit untuk meminta hasil diagnosa dan waktu perawatan RMS dan dikabulkan.
Kejaksaan Lempas Bola Panas ke Pengadilan
Kepala Seksie Pidana Umum (Kasie Pidum) untuk Kejari Kota Tangerang, Dapot Dariarma mengatakan RMS kini bukan menjadi kewenangan kejaksaan lagi. Melainkan Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Klas 1 A karena sudah memasuki persidangan.
"Tanya ke PN aja. Kan tahanan hakim," katanya.
Termasuk permintaan terkait hasil diagnosa RMS dari rumah sakit. Hal itu bisa dilakukan ketika ada perintah dari hakim ke Jaksa.
"Perkara yang SSH dilimpah penahanannya beralih ke hakim. Silahkan tanya ke hakim," tutur Dapot.
Hasil Diagnosa RMS Diragukan, Hakim Dukung Korban Lapor Polisi
Hakim ketua Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A yang memimpin sidang kasus tersebut, Arif Budi Cahyono mengatakan dirinya hanya bertugas untuk memeriksa perkaranya saja. Sementara terkait dengan hasil diagnosa rumah sakit tidak bisa dilakukan.
"Enggak bisa. Itu dasar hukumnya enggak ada. Itu enggak ada kaitannya dengan unsur-unsur pidana. Saya hanya periksa Perkaranya saja," katanya.
Arif mengaku selama perkara ini masuk tahap persidangan dirinya belum pernah melihat surat diagnosa tersebut. Bahkan dia tak mengetahui keberadaan surat tersebut.
"Saya sendiri juga enggak mengetahui bahwa surat itu dimana, karena saya enggak tau kalo surat itu ada atau tidak," katanya.
Arif pun mendukung keluarga korban kembali melaporkan ke polisi apabila surat tersebut diragukan. Sehingga, hal ini bisa menjadi perkara baru terkait dugaan pemalsuan dokumen
"Laporkan itu kalau surat itu palsu, dokternya biar dipanggil, terdakwa dipanggil juga bisa dijerat tindak pidana. Saya mendukung juga , nanti kan diadili lagi," jelasnya.
"Kalo saya kepentingannya apa kalo menilai surat itu palsu kan enggak ada kepentingan nya. Kepentingan saya hanya periksa perkaranya saja," tambah Arif.
Kata Arif, bila dilaporkan polisi. Maka polisi akan melakukan penyelidikan. Sehingga, hasil diagnosa tersebut akan terungkap.
"Makannya statement ada surat keterangan sakit, ya itu aja dikejar," tuturnya.
Pengakuan kalau dia menderita Hepatitis B Kronis ini pun membuat RMS tidak ditahan. RMS tidak ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2021 lalu.
"Pertama coba tanya aja polisi kenapa awalnya enggak ditahan, Mulai pertama enggak ditahan di polisi juga. Kejaksaan ngikutin, kami juga ngikut," katanya.
Arif menjelaskan sebenarnya ada beberapa alasan bila tersangka atau terdakwa tidak ditahan. Polisi dapat menjamin kalau terdakwa atau tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan batang bukti dan melakukan tindak pidana serupa.
"Ketika polisi tidak menahan polisi yakin bahwa orang itu tidak melakukan tiga hal itu kemudian kejaksaan cuma mengikuti dan saya juga ngikut aja," jelas Arif.
Diketahui, kasus ini menimpa anak perempuan berusia 13 tahun yang merupakan warga Kota Tangerang Selatan. Dia diperkosa oleh ayah tirinya berinisial RMS. Dia mendapat pemerkosaan oleh bapak tirinya sejak usia 12 tahun.
Aksi bejat RMS itu dilakukan sebanyak 10 kali pada medio September 2019 hingga Oktober 2020. Peristiwa itu paling banyak terjadi di kediaman RMS di salah satu perumahan mewah di Kota Tangerang. Namun, dari pengakuan korban aksi bejat tersebut juga sempat terjadi di Hotel.
Ibu korban yang mengetahui anaknya disetubuhi itu pun melaporkan kejadian ini ke Polres Metro Tangerang Kota pada 21 Oktober 2020 lalu. Kasus ini berlarut-larut, pasalnya sidang perdana baru dapat di mulai setahun setelah pelaporan. Tepatnya pada Selasa (12/10/2021) lalu.