Ironi Pelibatan Satu Keluarga dalam Serangan Bom Surabaya

Your browser doesn’t support HTML5 audio
Penanganan dari peristiwa pengeboman ini masih dilakukan. Hingga berita ditulis pada 21.42 WIB, polisi masih mengusut kejelasan dari serangan ini, termasuk mencari sel-sel teroris yang terlibat. Berbagai informasi dalam artikel ini masih sangat mungkin mengalami pemutakhiran. Versi aktual dari peristiwa dapat kamu temui di sini: Bom Surabaya.

Jakarta, era.id - Peristiwa pengeboman tiga gereja di Surabaya meninggalkan fakta memilukan. Selain jatuhnya 13 korban jiwa dan 43 korban luka, temuan polisi soal satu keluarga yang diduga jadi pelaku bom bunuh diri tentu saja jadi ironi lain yang muncul dari peristiwa ini.

Dita Oepriarto dan Puji Kuswati yang merupakan pasangan suami istri turut melibatkan empat anak mereka dalam aksi bom bunuh diri ini. Dua anak perempuan mereka, FR dan FS, masing-masing diketahui masih berusia delapan dan 12 tahun. Sedang dua anak lelaki mereka, YF dan FH diketahui berusia 17 dan 15 tahun.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, dalam konferensi pers di Rumah Sakit Bhayangkara siang tadi menuturkan kronologi peledakan bom yang dilakukan para tersangka.

Menurut Tito, dalam pergerakannya, Dita menggunakan mobil Toyota Avanza untuk membawa Puji, FR dan FS ke Gereja Kristen Indonesia (GKI) Dipo di Jalan Diponegoro Nomor 146. Di sana, Puji, FR dan FS turun, sementara Dita melanjutkan perjalanan ke Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS) Arjuno di Jalan Arjuno Nomor 90, Sawahan.

Sementara itu, pergerakan lain dilakukan oleh YF dan FH. Dua anak laki-laki Dipta itu berangkat terpisah menggunakan sepeda motor. Keduanya berboncengan menuju Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Gubeng.

Selanjutnya, ledakan pertama pun terjadi di GPPS sekitar pukul 07.30 WIB. Berdasar info yang berkembang, ada dua kemungkinan dari ledakan ini. Kemungkinan pertama, paket bom dibawa Puji di dalam kardus. Hal itu diungkapkan sejumlah saksi yang mengaku melihat Puji yang menenteng sebuah bawaan.

Sedangkan kemungkinan lain yang diungkap Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, bom diletakkan di pinggang Puji dan kedua anaknya. Hal itu terindikasi dari luka yang diderita ketiganya, di mana bagian pinggang mereka hancur, sementara bagian perut ke atas dan kaki masih utuh. Kondisi itu, kata Tito merupakan luka khas dari pelaku bom pinggang.

Baca Juga : Fakta Yang Terungkap dari Pengeboman Surabaya

Selanjutnya, ledakan kedua dan ketiga terjadi dalam waktu berdekatan. Entah ledakan mana yang lebih dulu, sebab hingga saat ini kepolisian belum memberikan kronologi resmi dari peristiwa ini. Yang jelas, di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, bom motor YF dan FH meledak. Di GPPS Arjuno, ledakan lebih besar dari bom yang dibawa Dita di dalam mobil Avanza menimbulkan dampak ledakan yang tampak lebih besar.

Seluruh anggota keluarga itu tewas dalam aksi bom bunuh diri ini. "Diduga pelaku bom bunuh diri di Surabaya dilakukan oleh satu keluarga ... Semua adalah serangan bom bunuh diri," ungkap Tito.

Infografis "Bom di Tiga Gereja Surabaya" (era.id)

Jaringan JAD

Tito, dalam kesempatan itu menyebut serangan bom di Surabaya berkaitan erat dengan jaringan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan sel-sel teroris lokal pendukung ISIS.

Menurut Tito, Dita yang jadi pelaku utama pengeboman ini merupakan Ketua dari JAD di Surabaya. "Di Indonesia, JAD dipimpin Aman Abdurahman. 

"Kemudian kelompok pelaku yang sekeluarga ini, mereka terkait JAD di Surabaya. Dia (Dita) ketuanya," ungkap Tito.

Baca Juga : Pelaku Bom Surabaya Satu Keluarga

JAD merupakan kelompok teroris yang terbentuk di Indonesia pada tahun 2015. Kelompok JAD terdiri dari 20-an kelompok yang terbagi dalam gerakan-gerakan ekstremis yang terafiliasi dengan ISIS.

Aman Abdurrahman sendiri merupakan salah satu pendiri dan tokoh penting dari JAD. Aman adalah salah satu pimpinan ISIS di Indonesia. Bahkan, Aman disebut-sebut sebagai inspirasi bagi banyak anggota JAD lain di Tanah Air.

Peran keluarga cegah terorisme

Ironi terkait Dita yang melibatkan anak dan istrinya dalam aksi bom bunuh diri ini turut ditangkap oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jelas, hal ini mengundang kutukan keras. Komisioner KPAI, Susianah Affandy bahkan menyebut tindakan Dita sebagai perbuatan keji.

"Pelibatan anak dalam kegiatan teror dan radikalisme adalah perbuatan keji. Anak adalah amanah Allah SWT kepada orang tuanya dan mereka memiliki kewajiban melindungi," kata Susianah kepada era.id.

Baca Juga : Alasan Mengapa Tak Boleh Sebut Terorisme Isu Agama

Susiana mengatakan, padahal orang tua seharusnya memainkan peranan penting dalam menjaga anak dari paparan radikalisme dan terorisme. Kata Susiana, orang tua seharusnya mengajarkan anak-anak mereka tentang ajaran agama yang membawa kedamaian serta memberi pemahaman pada mereka bahwa paham radikal dan terorisme merupakan kejahatan yang tak dibenarkan oleh ajaran agama mana pun.

Selain itu, orang tua seharusnya juga memberi pemahaman terkait makna kebhinnekaan dan cinta tanah air kepada anak-anak. Bukan malah melibatkan anak dalam kebencian-kebencian tak beralasan. 

"Seharusnya mengajarkan kepada anak tentang makna kebhinekaan dan cinta tanah air. Bahwa kita diciptakan berbeda-beda oleh Tuhan untuk saling mengenal dan kerja sama, bukan untuk membenci apalagi membunuh," tutur Susianah.

Baca Juga : Presiden Ajak Kita Bersatu Lawan Terorisme

Selain paham radikal dan terorisme, orang tua juga wajib mengawal konsumsi informasi anak-anak mereka ketika peristiwa terorisme terjadi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dalam situs resminya melansir langkah-langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi anak-anak dari paparan dampak negatif informasi terkait terorisme.

Pertama, orang tua harus mencari tahu lebih dulu informasi akurat mengenai kejahatan terorisme itu sendiri, untuk kemudian membahas secara singkat dan jelas kepada anak mereka. Selain itu, orang tua harus menghindarkan anak-anak dari paparan televisi dan media sosial yang kerap menampilkan gambar dan adegan mengerikan bagi anak.

Orang tua juga dapat membantu anaknya untuk mengungkapkan perasaan mereka terkait tragedi kejahatan terorisme yang terjadi. Bila anak menunjukkan rasa marah, arahkan pada sasaran yang tepat, yaitu pelaku kejahatan. Baiknya, hindari prasangka pada identitas golongan yang didasarkan pada prasangka.

Tag: bom surabaya teror bom di as teroris