Putusan MA Soal PP 99 Belum Jalan, LQ Indonesia Law Firm Kritik Kinerja Ditjen Pas
ERA.id - Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, atau yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor.
Dalam PP 99 itu, koruptor bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat dibandingkan dengan narapidana lainnya.
Ketua LQ Indonesia Lawfirm advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA menyoroti masih belumnya dilaksanakan keputusan MA tersebut, khususnya oleh pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham).
Keputusan MA tersebut mengenai Judicial Review MARI No 28P yang membatalkan beberapa pasal diantaranya pemberian remisi tanpa harus ada JC kepada WBP Tipikor, sebelumnya remisi hanya dapat diberikan kepada Justice Collaboator PP No 99 tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 32 tahun 1999 ini dibuat secara sembrono dan bertentangan dengan undang -undang yang lebih tinggi yaitu UU No. 12 tentang Permasyarakatan.
UU hanya dapat dibuat oleh Badan Legislatif yaitu DPR bukan oleh badan eksekutif, sehingga kekeliruan ini yang dikoreksi dan diluruskan oleh MA.
"Saya bukannya membenarkan perbuatan para koruptor, namun sejatinya ketika di vonis di Pengadilan, Majelis Hakim telah memberikan vonis yang menurut majelis hakim putusan yang tepat, sehingga dengan dihilangkan haknya untuk mendapatkan remisi dengan diwajibkan menjadi JC atas izin penuntut umum oleh peraturan pemerintah no 99/2012, justru merupakan hal yang keliru dan melawan hokum,” kata dia, Jumat (19/11/2021).
Menurut Alvin, jika dipandang hukumannya terlalu ringan, maka tugas hakimlah (badan yudikatif) yang memperberat vonis penjara bukan hak badan eksekutif melalui payung hukum PP No 99/2012 memberikan hukuman tambahan dengan mencabut remisi dan tidak memberikan asimilasi maupun pembebasan bersyarat.
“Apabila sudah ada putusan Judicial Review dari MARI selaku pengadilan tertinggi maka semua pihak wajib tunduk mentaati dan menghormati serta melaksanakan putusan tersebut seketika setalah dibacakan dan berlaku saat itu," ujarnya.
“Dalam teori hukum Trias Politika, sudah sangat jelas tugas masing-masing badan eksekutif, legislatif dan yudikatif,” tambahnya.
Ditjen Pas Kemenkumham melalui Kabag Humas dan Protokolnya, Rika Aprianti sebelumnya mengatakan pihaknya akan tetap mengikuti perkembangan dari putusan MA tersebut. Ditjen PAS berjanji akan melaksanakan putusan dan memberikan hak-hak narapidana sebagaimana aturan tersebut.
Meski begitu, menurut LQ hingga kini Ditjen Pas belum melaksanakan putusan MA. Padahal, kata Alvin, putusan tersebut berlaku seketika saat dibacakan majelis hakim. Terlebih, tidak ada upaya hukum lanjutan atas judicial review atau uji materi tersebut.
"Jadi tindakan Ditjen Pas yang menunda-nunda hak konstitusional warga binaan merupakan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
"Apakah alasan Ditjen Pas sudah 22 hari setelah menerima putusan judicial review, masih belum juga mematuhi isi putusan MA RI No 28P/HUM/2021? Tidak boleh ditunda-tunda putusan MA wajib segera ditaati, karena ini menyangkut hak konstitusional dan hak asasi manusia yang mendasar," lanjut Alvin.
Ia pun mengimbau agar para warga binaan kasus tindak pidana korupsi yang masih belum mendapatkan remisi, agar keluarganya bisa menghubungi LQ Indonesia Law Firm di nomor 0818-0489-0999. Sehingga bisa dibantu untuk memperoleh haknya.
Sebab, kata Alvin, kesengajaan untuk tidak memberikan hak warga negara sesuai undang-undang adalah perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 421 KUHP, yaitu penyalahgunaan wewenang dan diancam pidana kurungan.
Apalagi, PP No 99 tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 32 tahun 1999 sebelumnya, dipandang dibuat secara sembrono dan tidak mempertimbangkan dasar hukum lain yaitu UU Permasyarakatan.
"Jangan sampai para pejabat negara dalam hal ini Dirjen Pas justru malah melakukan perbuatan melawan hukum. Apa pun isi putusan pengadilan, apalagi MA yang sudah inkrah, jika kita langgar dan abaikan, apa bedanya Dirjen Pas dengan para pelaku kejahatan jika seperti itu?," ucapnya.