PKS Bilang Ada Pihak yang Menilai Agama Itu Anti Budaya dan Seni, Benarkah Keluhannya?
ERA.id - Wakil Ketua MPR RI dari PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW) menekankan pentingnya sinkronisasi kreasi seni dan budaya, termasuk perfilman dengan nilai-nilai agama dari para pendiri bangsa yang menyepakati Pancasila serta UUD NRI 1945.
Menurut HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, berdasarkan keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, sinkronisasi dari ketiga hal yang merupakan bagian HAM itu bisa diwujudkan melalui penyensoran film oleh Lembaga Sensor Film (LSF) atau sensor mandiri.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam webinar Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri bertajuk “Film Bernuansa Agama dan Dakwah Digital Kaum Muda” di Jakarta, Rabu (24/11/2021).
Saat melakukan sensor, tambah HNW, LSF ataupun pihak sensor mandiri dapat merujuk Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
“Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan batasan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum yang harus menjadi rujukan setiap pelaku industri film di Indonesia, lembaga sensor, ataupun kesadaran untuk sensor mandiri,” jelasnya.
Ia menegaskan aturan tersebut tidak ditujukan untuk membatasi kreativitas dalam seni perfilman. Buktinya, Indonesia tetap bisa menghadirkan film-film unggulan, meskipun bernuansa keagamaan dan dakwah. Film dengan nuansa tersebut dapat diterima dengan baik oleh publik, termasuk kalangan milenial.
HNW memaparkan beberapa film bernuansa keagamaan yang meraih banyak penghargaan dan diterima masyarakat luas, di antaranya film “Ayat-Ayat Cinta”, sinetron “Para Pencari Tuhan”, dan film animasi “Nussa”.
Namun sayangnya, ucap dia, Pancasila dan UUD NRI 1945 sering tidak dibaca dan dipahami secara historik dan utuh oleh sebagian pihak sehingga mereka kerap membenturkan kebudayaan Indonesia dengan nilai-nilai agama ataupun sebaliknya.
Ada beberapa pihak yang menilai agama bersifat antiseni dan antibudaya. Ada pula pihak yang menganggap agama (termasuk dalam produk film dan seni budaya) hanya menghasilkan eksklusivisme, radikalisme, dan bias gender yang jauh dari nilai utama seni dan budaya.
Untuk mengatasi kekeliruan tersebut, menurut HNW, diperlukan pemahaman yang baik dari masyarakat terhadap Pancasila dan UUD NRI 1945.
“Apabila memahami Pancasila dan UUD NRI 1945 secara baik dan benar, sejatinya agama dan seni budaya Indonesia bisa berjalan beriringan, bahkan saling menguatkan,” jelasnya.