Peringatan 20 Tahun Reformasi: Eddy Tansil dan Keluarga Cendana

Your browser doesn’t support HTML5 audio
Ini masih serial panjang era.id mengenai peringatan 20 tahun reformasi. Kami sampaikan kisah keluarga Cendana dan orang-orang di sekitarnya. Selamat menikmati.

Jakarta, era.id – Nama Eddy Tansil bukan sekali dua kali disebut di era Orde Baru. Bagi mereka yang besar di tahun 1970-80an, mendengar nama Eddy berarti membicarakan legenda korupsi.

Namun, melambungnya nama Eddy tak sebanding dengan eksistensinya. Sebelum era reformasi hingga detik ini, keberadan Eddy tak diketahui dan seolah hilang ditelan bumi.

Nama aslinya Tan Eddy Tansil alias Tan Tju Fuan. Kedekatannya dengan keluarga Presiden Soeharto atau keluarga Cendana membuat dia jadi pengusaha papan atas kala itu. Bisnisnya besar dan ada di mana-mana.

Awal tahun 1970-an, Eddy memutuskan tak menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di Singapura. Dia memilih merintis usaha produsen bajaj bersama ayahnya. Insting bisnis dan kelincahan Eddy membaca pasar membuat usahanya langsung naik daun. Hal itu mendorong dia untuk mengambil alih perusahaan perakit sepeda motor Kawasaki. Tak hanya itu, Eddy juga mendirikan pabrik produksi becak.

Malang, di tengah kesuksesannya, usaha produksi bajaj dan becak milik Eddy harus terhenti lantaran pemerintah DKI Jakarta di bawah kepimpinan Gubernur Ali Sadikin kala itu mengeluarkan kebijakan larangan kendaraan roda tiga beroperasi sebagai kendaraan umum.

Masuknya Suzuki dan Honda ke Indonesia juga mengguncang perusahaan Kawasaki milik Eddy. Pada 1980-an, Eddy di ambang kebangkrutan dan tak mampu membayar utang kreditnya.

Baca Juga: Peringatan 20 Tahun Reformasi: Mengenal Neo Cendana

Beruntung, Eddy diselamatkan oleh usahanya yang lain, pabrik penghasil cetakan baja. Keuntungan yang Eddy dapat dari perusahaan itu membuat dia nekat membuka pabrik bir. Bermodalkan rasa percaya diri yang tinggi, Eddy menggelontorkan modal awal sebesar Rp2 miliar untuk usaha tersebut.

Kali ini, ia menggandeng seorang Purnawirawan Mayor Jenderal Angkatan Darat bernama Koesno Achzan Jein sebagai mitra bisnisnya. Tak tanggung-tanggung, Eddy mendatangkan mesin-mesing tercanggih, tenaga penyelia, bahkan ragi khusus yang diimpor langsung dari Jerman.

Pabrik birnya bahkan disebut-sebut menjadi pabrik bir tercanggih se-Asia Tenggara. Namun, baru berumur dua tahun, pabrik bir Eddy harus tamat lantaran sepi peminat.

Kegagalan itu mendorong Eddy untuk memboyong alat-alat pabrik birnya ke Kota Fujian, China, dan mendirikan pabrik bir dengan merk yang sama di sana. Ia berhasil mendulang kesuksesan besar. Bahkan, Eddy pernah mendapat julukan sebagai “bapak bir Fujian”.

Berangkat dari situ, Eddy melebarkan sayap bisnis. Ia mendirikan perusahaan di bidang petrokimia dengan gelontoran dana kredit Bank Bapindo sebesar 565 juta dolar AS atau Rp1,5 triliun. Dari kabar yang berembus, kredit itu berhasil Eddy dapatkan atas bantuan Laksamana Angkatan Laut yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Sudomo.

Baca Juga: Peringatan 20 Tahun Reformasi: Mengenal Neo Cendana 2 

Mengenal Eddy Tansil (Grafis: era.id)

Namun, sekitar tahun 1994 kredit Eddy mulai macet. Anggota Komisi VII DPR kala itu, Ahmad Arnold Baramuli mulai mencium kesalahan prosedur yang terjadi dalam penyaluran kredit. Setelah diselidiki, ternyata terjadi mark up dari proyek fiktif yang dilakukan Eddy guna memuluskan kucuran dana Bapindo. Banyak yang menyebut, ada campur tangan Tommy Soeharto dalam urusan tersebut.

Dugaan ini bukan tanpa alasan. Kedekatan Eddy dan Tommy bisa dilihat dari kongsi bisnis yang keduanya jalankan melalui PT Hamparan Rejeki. Dilansir dari Wall Street Journal, Tommy memiliki saham sebanyak 14 persen dalam perusahaan tersebut.

Katanya, setelah Tommy ambil bagian dari beberapa proyek fiktif yang dibuat untuk kredit tersebut, Tommy meninggalkan Eddy. Alhasil, Eddy harus menanggung seluruh beban hukum atas kasus tersebut.

Tahun 1995, sampailah Eddy ke meja hijau. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy divonis bersalah dan diganjar hukuman 20 tahun penjara serta denda Rp30 juta rupiah. Eddy juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp500 miliar serta membayar kerugian negara Rp1,3 triliun. Eddy pun resmi mendekam di balik jeruji besi LP Cipinang.

Namun, baru satu tahun jadi tahanan, Eddy tercatat lima kali izin keluar dari rutan dengan alasan berobat ke RS Jantung Harapan Kita. Tepat pada izin kelimanya, 4 Mei 1996, Eddy izin dan tak pernah kembali lagi. Ganjilnya, komandan jaga LP Cipinang baru mengetahui pelarian Eddy dua hari pascaperistiwa tersebut terjadi.

Hingga kini, Eddy tak pernah terlihat lagi. Namanya hanya bisa dikenang sebagai legenda korupsi. Rumor yang beredar mengatakan Eddy berada di India. Kabar lainnya menyebut Eddy menetap di Australia dan sesekali ke Singapura.

Lantas, mana yang benar? Entahlah, mungkin kita perlu bertanya pada rumput yang bergoyang.

Tag: peringatan 20 tahun reformasi