Anak Terduga Teroris Bukan Homeschooling Tapi Tak Sekolah
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut pelaku teror di tiga gereja di Surabaya; Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo; dan Mapolrestabes Surabaya adalah tiga keluarga yang bergabung dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sel Surabaya.
Kapolri menyebut cukup sering aksi teror yang menggunakan wanita dan banyak digagalkan pihak kepolisian. Namun, untuk aksi teror yang menggunakan anak-anak seperti yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo baru pertama kalinya.
Anak-anak yang menjadi pelaku teror bom itu juga ternyata tidak disekolahkan oleh orang tuanya. Mereka dikurung dan diberikan doktrin khusus. Hal ini disampaikan oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Machfud Arifin.
“Istilah home schooling itu tidak benar. Padahal mereka tidak ada sekolah. Mereka dikurung dengan doktrin khusus sehingga anak itu yang di GKI Jalan Diponegoro mau ikut bawa bom pinggang," kata Kapolda Jatim, dilansir Antara, Minggu (20/5/2018).
Machfud menyebut orang tua dari anak pelaku teror mengajari mereka untuk menjawab 'home schooling', saat ditanya oleh masyarakat terkait pendidikan mereka. Sebenarnya, alih-alih belajar, mereka justru didoktrin dengan video radikal dan tak berinteraksi dengan masyarakat lain.
"Baik AIS dan yang di Sidoarjo itu tidak sekolah. Ini sama, karena satu guru pengajiannya yang sama. Ada keterkaitan. Namun ada satu yang sekolah. Dia anak yang besar karena ikut neneknya. Kedua anak lain sering dicekoki film," ungkapnya.
Baca Juga : Mengawal Kelanjutan Hidup Anak-anak Pelaku Teror
Meskipun, anak-anak itu disebut pelaku, namun, pada akhirnya mereka bisa dikatakan korban juga. Karena anak-anak itu tak tahu bawa doktrin yang diberikan oleh orang tua ternyata buruk. Hal ini disampaikan oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
"Di dalam Undang Undang Perlindungan Anak, anak tidak bisa disalahkan. Mereka tidak bisa disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban. Mereka korban dari lingkungan," ujar Ketua LPAI Seto Mulyadi.
Pria yang akrab disapa Kak Seto ini mengatakan bahwa anak-anak yang selamat itu harus mendapatkan perlindungan ke depannya. Karena, hal tersebut ada dalam amanat Undang Undang Perlindungan Anak yang berisi tak boleh melakukan kekerasan terhadap anak dan yang kedua, tak boleh menyuruh anak melakukan kekerasan. Dalam kasus ini, kedua poin tersebut akan menjadi perhatian LPAI.
LPAI juga mendesak agar negara hadir untuk melakukan terapi psikologis dengan cara mengubah lingkungan anak-anak tersebut dan harus menciptakan suasana yang kondusif bagi mereka.
Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melalui ketuanya Arist Merdeka Sirait mendesak agar Pemerintah dan DPR RI untuk segera merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme yang merujuk ke UU Perlindungan Anak.
Jika UU itu disahkan maka tidak boleh ada hukuman berat untuk anak-anak yang melakukan aksi teror. Arist juga menyebut seharusnya seluruh kasus anak masuk ke dalam UU Perlindungan Anak. Dia juga menyebut tak dibenarkan ada hukuman bagi anak atau UU yang melibatkan anak. Sistem peradilan bagi anak pun tak bisa dilakukan hukuman mati atau hukuman lebih sepuluh tahun.
Saat ini, Polda Jatim juga tengah fokus kepada penyembuhan keempat anak pelaku teror. Setelah fokus pada penyembuhan fisik, keempat anak ini akan dirawat untuk menghilangkan traumatik yang dialaminya.
Setelah menghilangkan traumatik, masih banyak tanggung jawab yang harus dilakukan termasuk memberi pemahaman perbuatan yang benar dan menyerahkannya kepada pihak yang mempunyai paham ajaran yang baik. Sementara untuk para korban anak-anak, Pemerintah membentuk trauma center untuk mendampingi mereka yang menjadi korban peledakan bom di beberapa tempat di Surabaya.
Selain itu, pihak kepolisian juga akan berdiskusi dengan lembaga perlindungan anak dan Pemkot Surabaya tentang menjamin pendidikan anak pelaku teror tersebut.