Mereka yang Tak Dapat 'Kue' dari Reformasi

Jakarta, era.id - Mahasiswa memang bisa dibilang sebagai motor gerakan reformasi 20 tahun silam. Namun kalau mau diusut lebih jauh, ada banyak tokoh yang membuat gerakan mahasiswa waktu itu menjadi begitu kuat dan ditakuti rezim Orde Baru.

Nama-nama seperti Adian Napitupulu, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Eros Djarot, hingga Amien Rais, adalah contohnya. Masih banyak lagi sebenarnya kalau mau dibeberkan satu persatu.

Seiring waktu berjalan, beberapa dari mereka ada yang bisa merasakan buah reformasi. Duduk di kursi parlemen hingga masuk ke lingkaran pemerintahan. Namun tidak sedikit juga yang jalan hidupnya tidak berubah. 'Setia' menjadi aktivis hingga sekarang. Siapa saja mereka? Kami akan coba berikan tiga contoh nama;

Ratna Sarumpaet

Dia adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang aktif mendukung dan menyuarakan reformasi Indonesia pada 1998. Sebagai seorang seniman dan penulis, Ratna banyak menciptakan karya yang mengangkat tema tentang kemanusiaan atau HAM, perlawanan terhadap kekerasan wanita, dan kebebasan berpendapat serta berserikat. Dia juga sempat mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Center yang fokus melakukan advokasi terhadap mereka-mereka yang dirampas hak nya.

Ilustrasi Ratna Sarumpaet (Mia/era.id)

Ratna banyak terlibat dalam demonstrasi menuntut diadilinya koruptor, penindas rakyat, dan pengusaha yang sewenang-wenang kepada rakyat. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah monolog 'Marsinah Menggugat' yang mengkritik habis-habisan penanganan kasus Marsinah di era Orde Baru. Soeharto langsung bertindak dengan melarang Ratna maupun kelompoknya pentas. Akhirnya, pentas teater monolog tersebut terpaksa batal. Dalam peristiwa reformasi, Ratna mengorganisasi hampir 50 LSM untuk bersatu melawan Soeharto. Ia menjadi motor penggerak Aliansi Pro Demokrasi untuk menuntut rezim Soeharto mundur.

Ratna yang sekarang tidak banyak beda dengan dulu, tetap kritis pada penguasa. Saking kerasnya, pada 2016 lalu, Ratna dan sejumlah orang ditangkap atas tuduhan makar. Kasusnya masih bergulir hingga hari ini.

Eros Djarot

Budayawan sekaligus politikus Indonesia, Eros Djarot, adalah salah satu aktor dari terwujudnya reformasi Indonesia pada 1998. Eros Djarot merupakan jurnalis yang menjabat sebagai wapimred DeTIK. Pada 1994, menurut David T Hill dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru (2011) Eros Djarot gencar mengampanyekan semangat keterbukaan politik. Sehingga pada saat itu, pers-pers mulai berani menampilkan taringnya.

"Banyak orang benar-benar ingin menyaksikan perubahan," kata Djarot.

DeTIK kala itu berhasil merebut simpati pembaca, khususnya kaum pembaca muda yang melek politik. Dengan aneka wawancara panjang bertopik spesifik, kolom-kolom yang berani dan foto-foto aksi, berhasil membuat mingguan ini disukai.

Ilustrasi Eros Djarot (Mia/era.id)

Selain melalui pers, Eros Djarot juga kerap menyuarakan kritik sosialnya melalui lagu. Dalam album 'Badai pasti Berlalu', pengagum ajaran-ajaran Soekarno ini turut mengkritik pemerintahan Soeharto yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Tak lupa, Eros juga sesekali menyebut peristiwa 1965 dalam sejumlah karyanya.

Usai Soeharto tumbang, Eros sempat mendirikan partai bernama 'Partai Nasionalis Bung Karno'. Tidak lama, partai itu berubah menjadi 'Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Indonesia' (PNBK) yang ikut bertarung dalam Pemilu 2004. Sayangnya, PNBK gagal menembus Senayan akibat kurangnya jumlah suara. Kini, Eros Djarot lebih banyak berkutat dalam habitat aslinya, dunia seni dan musik.

Sri Bintang Pamungkas

Pada 11 Oktober 1996, dengan suara lantang, Sri Bintang Pamungkas meminta pemerintah berani menggelar pemilihan presiden secara langsung. Sontak saja, pernyataan dari doktor bidang ekonomi ini membuat panas kuping Soeharto. Sejumlah jadwal orasi dan pertemuan Sri bintang langsung diawasi dengan ketat. Tak jarang, sejumlah pertemuan yang sudah diagendakan harus batal karena tidak adanya izin dari penguasa.

Tak perlu waktu lama untuk menebak akhirnya Sri Bintang dilempar ke balik jeruji besi oleh rezim Orde Baru. Dia mendeklarasikan diri untuk menjadi calon presiden yang berujung kepada tuduhan tindakan subversif oleh pemerintah. Tapi semangat untuk menggulingkan rezim Soeharto malah semakin menjadi-jadi.

Selepas menyelesaikan kuliah di Amerika Serikat pada 1984, Sri Bintang menerima draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dirinya tidak sepakat dengan adanya kebijakan pinjaman dari luar negeri meski pertumbuhan ekonomi membaik. Sri Bintang juga menyoroti mengguritanya korupsi di seluruh tingkatan pemerintahan Orde Baru yang tidak ditangani dengan baik. Segala kemarahan ini dia akumulasikan dengan bergabung bersama massa demonstrasi pada Mei 1998.

Usai kejatuhan Soeharto, Sri bintang mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Pada pemilu 1999, Partai PUDI berhasil menjadi peserta, namun tidak berhasil mengantarkan satupun kadernya untuk mendapatkan kursi di DPR. Suara PUDI terlampau kecil dan kini tidak jelas juntrungannya. Gagal bersama PUDI, Sri Bintang mengambil posisi di luar pemerintahan dan terus mengkritik penguasa atas berbagai isu. Alih-alih mendapat jabatan, pada 2016 lalu, Sri Bintang harus kembali berurusan dengan proses hukum atas tuduhan makar yang disangkakan kepadanya.

Ilustrasi Sri Bintang Pamungkas (Mia/era.id)

 

Tag: peringatan 20 tahun reformasi