Munarman Kritik Cara Interogasi Densus 88: Kaki Saya Dirantai, Tangan Diborgol, Mata Ditutup
ERA.id - Pengadilan Negeri Jakarta Timur kembali melanjutkan sidang dugaan tindak terorisme dengan terdakwa Munarman, Eks Sekretaris FPI, Rabu (16/2/2022)
Pada sidang yang beragendakan pemeriksaan terdakwa itu, Munarman mengkritik Densus 88 Antiteror yang menjadikan laporan resmi Komnas HAM yang berisi catatan peristiwa KM 50 sebagai barang bukti.
"Setelah saya dapat daftar apa saja yang disita dari rumah saya, buku-buku, dokumen-dokumen itu, yang lucu saya mau ketawa itu laporan resmi Komnas HAM," kata Munarman.
"Laporan resmi Komnas HAM saya taro di rak buku perpustakaan saya itu saya ambil, kemudian dijadikan barang sitaan," tambah dia.
Munarman lantas mempertanyakan apa kaitan laporan Komnas HAM yang ada di rumah dengan kasus yang kini menjerat dirinya. Sebab menurut hukum barang yang disita itu hanya yang berkaitan dengan tindak pidana.
"Itu sama sekali tidak ada. Itu produksinya, produksi Komnas HAM," kata Munarman.
Bekas petinggi Front Pembela Islam (FPI) itu lantas mengkritik metode interogasi Densus 88. Sebab, menurut dia, tidak ada yang berani mengkritik satuan anti teror milik Polri tersebut karena takut dianggap anti-NKRI.
"Metodenya masih menggunakan metode sebelum KUHAP interogasi. Jadi awal-awal itu interogasi orang dicecar pertanyaan dengan dipres begitu secara psikologi," ungkap Munarman.
Tak hanya dicecar pertanyaan, Munarman mengaku kaki dan tangannya juga diikat. "Kaki saya dirantai, tangan saya diborgol, mata ditutup," imbuh dia.
Dalam satu kesempatan interogasi, Munarman mengaku ditanya soal buku KM 50. "Bagaimana dengan peristiwa pembunuhan KM 50?" ucap Munarman menirukan pertanyaan saat interogasi.
"Ya kalian yang tahu, kalian kan punya aparat yang melakukan penyelidikan, bukan kami yang berkepentingan untuk menbuktikan. Kalianlah yang membuktikan," kata dia.
"Kenapa buku itu disita juga, ya saya tidak tahu. Kenapa laporan Komnas HAM mengenai pembunuhan 6 orang pengawal Habib Rizeq itu justru disita," tamba Munarman.
Munarman menduga bahwa para penyidik mengira bahwa laporan tersebut merupakan buatan dirinya. "Menurut saya itulah bentuk-bentuk keanehan yang terjadi dalam perkara saya ini," pungkas Munarman.
Untuk diketahui, persidangan lanjutan Munarman ini tidak bisa disaksi secara langsung karena alasan keamanan terhadap JPU serta hakim.
Awak media hanya bisa mendengarkan suara jalannya sidang dari Loby Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Semenatara itu, Kuasa Hukum Munarman, Aziz Yanuar menjelaskan bahwa pernyataan kliennya soal konsep jihad dan khilafah tidak berubah dan sesuai dengan pemahaman Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ia juga menyinggung soal visi dan misi FPI yang sebenarnya sudah diterima oleh Kemendagri dan Kemenag. Hanya saja, saat itu ada masalah penyelesaian mekanisme di internal yang akhirnya menjadi ganjalan hingga berujung pembubaran.
"FPI dan Pak munarman tidak menolak demokrasi. Malah Pak Munarman masih menjadi pengacara," kata Aziz.
Terkait dengan konsep khilafah, Aziz menyebut bahwa Munarman menganut pendapat bahwa Khilafah itu adalah Imam Mahdi dan itu ada di Al-Qur'an.
"Kita semua umat muslim itu tidak menerima pendapat, tidak mengambil pendapat bahwa bahwa ada khilafah sebelum Imam Mahdi seperti Abdurrahman Al-Baghdadi. Bagaimana bisa (Munarman) dikatakan sebagai teroris atau terkait dengan ISIS," kata dia.