Indonesia Krisis Kedelai, Begini Solusi Pakar UGM
ERA.id - Dalam sepekan terakhir Indonesia mengalami krisis kedelai. Krisis kedelai ini ditandai peningkatan harga dari Rp7.000-9.000 menjadi Rp11.300 di Jawa dan sampai Rp12.500 per kilogram di luar Jawa. Kenaikan harga tersebut memberatkan konsumen UMKM perajin tahu dan tempe.
Di beberapa daerah perajin mogok produksi karena tingginya harga kedelai. Imbas lainnya, harga tempe dan tahu naik.
“Tempe dan tahu ini sebenarnya lauk yang dapat disajikan dengan berbagai variasi dengan harga cukup terjangkau serta memiliki kandungan protein cukup baik sehingga menjadi pilihan bagi keseharian masyarakat," ujar pengajar Fakultas Pertanian UGM, Subejo, Selasa (22/2).
Subejo menuturkan krisis kedelai global dipicu oleh beberapa hal yaitu menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brasil sebagai penghasil utama kedelai dunia akibat La Ninaserta meningkatnya impor kedelai oleh China.
China saat ini, menurutnya, merupakan importir kedelai terbesar di dunia dimana tahun 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.
Dosen Sekolah Pascasarjana UGM ini menjelaskan kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.
“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan," ucapnya.
Maka cukup wajar jika impor kedelai jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksi nasional. Data BPS tahun 2019, kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Adapun kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton.
Dengan kondisi tersebut, setiap tahun diperlukan impor 2,4-2,6 juta ton. Bahkan, pada 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar di mana 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.
Selama ini rerata produktivitas kedelai tertinggi di dunia yaitu Amerika (3,1 ton/ha), disusul Oceania dan Eropa sebesar 2,14 ton/ha dan 2,08 ton/ha.
Sementara rata-rata produktivitas kedelai di negara Asia hanya mencapai 1,45 ton/ha.
Data BPS tahun 2019 melaporkan produktivitas kedelai Indonesia sepanjang 2005-2015 hanya berkisar 1,3-1,5 ton/ha.
Oleh karena itu, menurut Subejo diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.
“Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan," jelasnya.
Salah satu inovasi UGM dan perlu dikembangkan adalah benih kedelai hitam Mallika. Menurutnya, benih kedelai hitam Mallika ini cukup prospektif karena memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air, dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang.
Bisa juga melalui inovasi peningkatan produktivitas kedelai yaitu mikoriza untuk meningkatkan eksplorasi perakaran sampai ratusan kali volumenya sehingga penyerapan air dan nutrisi menjadi lebih baik yang membuat tanaman kedelai menjadi lebih subur.
“Selama ini harga kedelai lokal kurang atraktif bagi petani sehingga budi daya kedelai tidak menjadi prioritas karena tingginya kompetisi dengan komoditas pertanian yang lebih menguntungkan. Alternatifnya lakukan budi daya kedelai dengan memanfaatkan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas subtitusi kedelai," papar doktor pertanian ini.
Subejo pun mengusulkan inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro. Kacang yang telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, namun cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi.
“Isu perubahan taste dan pereferensi konsumen inipun juga menjadi hal yang tidak mudah," ujarnya.
Subejo sangat berharap program insentif dari pemerintah untuk mendorong minat petani mengembangkan komoditas kedelai sehingga kapasitas produksi nasional meningkat. Program insentif ini sangat diperlukan dan dapat dikembangkan melalui pemberian subsidi harga, subsidi sarana produksi, pengadaan alat mesin dan introduksi tata niaga kedelai yang baik dan efisien serta penyuluhan dan pendampingan petani yang efektif.