Tak Takut Sanksi Internasional, Rusia Kembali 'Hujani' Ukraina dengan Rudal, Ledakan Menggema di Kiev dan Kota-Kota Lain
ERA.id - Pasukan Rusia masih terus membombardir Ukraina. Hal itu diketahui dari Sejumlah ledakan yang terdengar di ibu kota Ukraina, Kiev dan kota besar Kharkiv pada Senin pagi (28/2/2022).
Menurut Layanan Komunikasi Khusus dan Perlindungan Informasi Ukraina, Kota Kiev sunyi senyap beberapa jam sebelum terdengar ledakan, kata mereka dalam pernyataan singkat di aplikasi pesan Telegram.
Lewat pernyataan terpisah, badan itu mengungkapkan bahwa sebuah bangunan tempat tinggal di kota Chernihiv, Ukraina timur, terbakar usai dihantam rudal.
Kemudian kota Zhytomyr di wilayah yang sama juga digempur rudal tadi malam, kata komando Pasukan Darat Ukraina di Facebook.
Sementara itu, pada Minggu 27 Februari negara-negara G7 yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat memastikan Barat telah memutuskan menutup akses "sejumlah bank Rusia" kepada sistem komunikasi antarbank seluruh dunia yang disebut SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
SWIFT bisa menjadi instrumen sanksi ekonomi terdahsyat yang dijatuhkan Barat kepada Rusia menyusul invasi ke Ukraina.
G7 juga menyatakan telah menyiapkan sebuah gugus tugas lintas Atlantik yang akan mengkoordinasikan sanksi kepada Rusia.
Dengan begitu, dibandingkan sanksi kepada Rusia menyusul aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014, maka sanksi kali ini bakal dijalankan dengan jauh lebih terkoordinasi.
Didirikan pada 1973 dan berbasis di Belgia, SWIFT menautkan 11.000-an bank dan lembaga di lebih dari 200 negara. Ini adalah arteri keuangan global yang membuat transfer uang lintas batas berjalan lancar dan cepat.
Anda tak punya akses ke sini, maka transfer keuangan, modal dan investasi lintas batas yang Anda punya akan tersumbat. Itu sama artinya Anda mengalami kesulitan akut dalam melakukan pembayaran dan pembelian lintas batas.
Dan itu bisa termasuk saat Anda menjual atau membeli valuta asing yang sangat instrumental bagi bank sentral di seluruh dunia dalam menjaga sistem moneter, termasuk memastikan stabilitas cadangan devisa yang sering digunakan untuk mengintervensi pasar uang tatkala pergerakan nilai tukar tak terkendali.
Jauh sebelum invasi Ukraina, Rusia rupanya sudah bersiap dengan belajar dari sanksi Barat usai mereka menganeksasi Krimea pada 2014.
Guna menangkal sanksi jauh lebih keras, pemerintahan Presiden Vladimir Putin telah bersiap dengan mengumpulkan cadangan devisa luar biasa besar sebanyak 630 miliar dolar AS. Ini diyakini dapat menangkal skenario krisis ekonomi terburuk, paling tidak untuk jangka pendek.
Rusia juga memangkas ketergantungan dari dana luar negeri sampai porsi utangnya pun hanya 20 persen dari PDB mereka. Sanksi Barat terkait Krimea rupanya malah membuat Rusia berkesempatan membangun ekonomi secara berdikari.
Saking percaya dirinya dengan formasi cadangan devisa dan porsi utang luar negeri itu, bank terbesar Rusia, Sberbank, sesumbar bahwa sistem finansial sudah siap menghadapi segala kemungkinan terburuk, dan siap melindungi sumber daya, asset dan kepentingan konsumen. Pertahanan keuangan ini mereka sebut fortress Russia atau benteng Rusia.
Namun para analis ragu benteng ini mampu menghadapi sanksi seberat seperti menutup akses SWIFT.
Mereka justru percaya pemblokiran SWIFT bakal membatasi kemampuan Bank of Russia yang adalah bank sentral Rusia, dalam menggunakan cadangan devisa sebesar 630 miliar dolar AS.
Dan itu bukan mempengaruhi bank sentral dalam menyangga perbankan dan korporasi dari dampak buruk sanksi Barat, tetapi juga bisa mempengaruhi kemampuan bank sentral dalam mengintervensi pasar uang guna menghindarkan kejatuhan mata uang rubel.