#2019GantiPresiden, Keinginan Rakyat yang Tak Mengkrucut
Dirunut ke belakang, munculnya tren '2019 ganti presiden' berawal dari inisiatif politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, yang gencar menulis tanda pagar (tagar) #2019gantipresiden di akun Twitter-nya. Setelah itu, tagar ini jadi perbincangan, baik di dunia nyata dan pastinya di dunia maya.
Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan meski tagar #2019gantipresiden mulai terkenal, namun faktanya, banyak orang yang bingung dengan kelanjutan tagar itu karena tidak ada calon presiden yang cocok.
Meski ada nama sekaliber Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo atau Anies Baswedan di balik tagar ini, nyatanya, untuk menyaingi elektabilitas Jokowi mereka tidak mampu. Itu terekam dari hasil survei dari berbagai lembaga.
"Terlihat elektabilitas #GantiPresiden2019 berhasil merangkak naik, tapi tidak demikian dgn elektabilitas Prabowo, Gatot, Anies apalagi Amien.. Jadi 2019 mau adu tagar atau adu capres?" tulis Yunarto dalam akun twitternya, Kamis (7/6/2018).
Tweet Yunarto itu mendapat respons dari warganet. Ada yang bilang, tagar itu terkenal gara-gara akun palsu, ada juga yang yakin kalau itu merepresentasikan suara rakyat.
"Tagar itu bisa seolah banyak, karena bisa direkayasa tanpa ada yang memastikan asli tagar atau tagar yang diaslikan. Kami tidak terpengaruh tagar, kami lebih suka faktanya pak Jokowi lebih origin," tulis akun @waeprasetya.
Baca Juga : Masihkah Perang Tagar Efektif?
Sementara itu, dari pengamatan Pakar Hukum sekaligus Guru Besar di Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menilai, tagar tersebut berpotensi melanggar Undang-undang Pemilu. Musababnya, tagar itu dilontarkan bukan pada waktunya. Lebih jauh, Romli melihat, tagar ini lebih ke arah ajakan makar terhadap presiden yang sedang resmi melaksanakan tugas.
"Jika diamati tagar dan ajakan ganti presiden 2019 jelas melanggar uu pemilu/pilpres seharusnya terjadi di thn 2019.
Masa kampanye pilpres pasti bukan hari ini atau selama 2018 pastinya tahun 2019.
Jika tagar ganti presiden 2019 sudah dikemukakan tahun 2018 sama saja mengajak makar terhadap pemerintah yang sah karena saat ini presiden adalah presiden yang sah diplilih rakyat dan pilihan tahun 2018 untuk pilpres 2019 jelas melanggar uu pemilu dan kuhp," tulis Romli dalam akun Twitter-nya @romliatma.
Respon Partai
Tagar #2019gantipresiden tidak hanya ramai diperbincangkan di ranah media sosial. Ini juga jadi obrolan serius di beberapa tingkatan partai politik. Misalnya, Wakil Ketua DPW DKI Jakarta Partai Nasdem, Bestari Barus melihat banyak orang yang tidak mengerti makna #2019gantipresiden. Oleh karena itu mereka hanya menyuarakan tagar tanpa tahu siapa calon yang akan dipilihnya nanti. Dalam arti kata, mereka hanya ikut-ikutan saja.
"Kan harus ada panutan, dan panutan itu harus orang yang punya kelebihan luar biasa," kata Bestari saat dihubungi era.id beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Bestari, tagar ini tidak akan berdampak untuk elektabilitas bakal calon lawan Jokowi. Apalagi, selama ini Jokowi telah memberikan standar yang tinggi sebagai presiden, sehingga sulit untuk ditandingi.
Baca Juga : Perang Tagar Jelang Pilpres 2019
Bestari pun menyarankan jika orang-orang berniat mengganti Jokowi sebagai presiden, untuk memajukan calon yang benar-benar kuat bukan hanya memasang tagar.
"Saran saya kalau mau ganti pak Jokowi jangan kebanyakan masang tagar," kata Bestari.
Bestari menilai, tagar tersebut bukannya memberi dampak buruk pada elektabilitas lawan Jokowi, tapi justru memperkuat relawan-relawan untuk memenangkan Jokowi di Pemilu 2019.
"Kita ucapkan terima kasih tagar itu membangun militansi Jokowers, dengan begitu kita ingin lawan ini tagar dan bersatu," ujar Bestari.
Baca Juga : Mempertanyakan Ajakan Pencet Klakson Dukung #2019GantiPresiden Saat Mudik
Sementara itu, Wakil Ketua DPD DKI Jakarta Partai Gerindra Iman Satria meninlai tagar #2019gantipresiden merupakan wujud apresiasi rakyat Indonesia yang menginginkan presiden baru. Dia pun membantah tagar itu diramaikan oleh akun palsu atau buzzer.
Tapi dia mengakui, meski tagar itu populer di lingkungannya, namun belum ada pengerucutan calon yang bakal dimunculkan menggantikan presiden yang sekarang, Jokowi.
Baca Juga : Ricuh Debat Pilgub Jabar karena Kaus #2019GantiPresiden
"Nanti kalau sudah mengkrucut baru kelihatan, sekarangkan orang masih banyak pilihan tapi nanti jika sudah mengkrucut baru elektabilitasnya kelihatan," kata Iman.
Dia pun yakin, gerakan tagar ini bukan bentuk kampanye yang dilarang dalam aturan pemilu. "Sebab, ini kan hanya statement. Kalau kampanye kan, mengajak, dan menyuarakan untuk mencoblos partai atau nama tertentu," ujar Iman.