Sejarah 23 Mei 1997: Jumat Kelabu di Banjarmasin, 123 Orang Tewas dan 179 Orang Hilang
ERA.id - Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin pada 23 Mei 1997, menyisakan luka dan trauma mendalam di hati masyarakat Kalimantan Selatan. Sebanyak 123 orang meninggal, 118 orang luka-luka, dan 179 orang hilang.
Tidak saja itu, dilansir Banjarmasin Post ada sekitar 155 rumah, 144 toko, 3 supermarket, 3 minimarket, 5 bank, 4 kantor pemerintah, 1 tempat hiburan, 11 gereja, 3 sekolah, 1 rumah jompo, 1 apotek, 26 mobil serta 23 sepeda motor hancur dirusak dan dilumat api.
Ratusan jenazah dikuburkan di kawasan Jalan A Yani kilometer 22 Landasan Ulin, Banjarbaru. Tempat pemakaman umum (TPU) milik Pemerintah Banjarmasin itu berdampingan dengan sejumlah alkah (pemakaman muslim).
Menurut Sabirin—sebagai salah satu saksi hidup ketika pemakaman para korban itu dilakukan—penggalian tanah dilakukan sejak Jumat malam hingga Sabtu siang. Para penggali hanya menggunakan cangkul.
Kerusuhan di Banjarmasin, mengutip pendapat budayawan Adjim Arijadi, bahwa sebagai peristiwa yang paling mengerikan bagi sejarah Banua. “Harus tetap diusut hingga tuntas agar bisa menjadi sejarah Banjar. Terus diperingati dan bangun monumen agar selalu diingat sehingga tidak terulang. Mahasiswa haru berperan seperti melalukan penelitian untuk mengungkap kebenarannya. Peristiwa tersebut adalah peradaban cukup besar yang perlu diangkat dalam kebudayaan Kalsel."
Peristiwa ini tanpa pernah disangka-sangka oleh masyarakat Kalimantan Selatan dan masih menyimpan keanehan dan keganjilan penyebabnya.
Jumat Kelabu bermula sebelum sembahyang Jumat selesai. Pada pukul 10.00 WITA, ribuan simpatisan Partai Golongan Karya (Golkar) mendatangi Lapangan Kamboja. Ketika di jalan, saat konvoi itu, para simpatisan tersebut membunyikan kendaraan yang keras dan juga kebut-kebutan tidak keruan.
Mereka tidak peduli lagi dengan kondisi keadaan jalan dan situasi hari itu yang warga muslim sedang menunaikan ibadah salat Jumat. Raungan kendaraan telah mengganggu kekhusyukan jemaah.
Pasca salat Jumat, letupan kecil pun terjadi di berapa tempat. Di sekitar Jalan Pangeran Antasari di depan Masjid Agung Miftahul Ikhsan, di ujung perempatan Jalan Kolonel Soegiono, dan di depan Mitra Plaza sampai ke ujung Jalan Pangeran Samudera.
Pukul 13.30 WITA, konflik terjadi antara massa kampanye Golkar dan sekelompok yang tidak diketahui—mungkin massa tidak suka dengan kebisingan mereka—di depan Pos Polisi Sudimampir. Lalu pada pukul 14.00, letupan kerusuhan bergerak sampai ke depan Masjid Noor Jalan Pangeran Samudera.
Dalam penelitiannya, “Peristiwa Kerusuhan Banjarmasin 23 Mei 1997” (2014), Muhammad Habibi Darma mengutarakan bahwa kerusuhan tersebut memiliki tiga versi awal muasal kerusuhan. Pertama, bentrokan terjadi di luar dugaan jemaah salat Jumat. Jemaah hanya menegur kepada para anggota satuan tugas (satgas) Golkar yang mengamankan prosesi kampanye. Akan tetapi, satgas Golkar, yang sebagian besar diduga preman, ternyata membawa senjata tajam dan menyerang jemaah hingga berlarian ke perkampungan di sekitar masjid.
Kedua, jemaah salat Jumat memukuli tiga pengendara motor yang merupakan anggota satgas Golkar sampai babak belur. Para anggota satgas Golkar itu mengadu kepada teman-temannya di Kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan, dan akhirnya mereka kembali menyerang balik dengan anggota lebih banyak.
Ketiga, di sekitar Masjid Noor, bentrokan tidak saja tiga pengendara motor, tetapi delapan orang. Simpatisan dan satgas Golkar yang delapan orang itu terdesak karena massa semakin banyak.
Dari letupan kecil-kecil itu menjalarlah ke seluruh kota dan tidak mengenal usia, anak kecil hingga orang tua, dari rakyat biasa sampai tokoh nasioanal. Misal, Saadillah Mursjid (Menteri Sekretaris Kabinet pemerintahan Orde Baru) dan Hasan Basri (Ketua Umum MUI)—yang kedua kelahiran Kalimantan—dicari dan dikejar ketika berpartisipasi dalam kampanye hari terakhir Golongan Karya.
Hotel Kalimantan, tempat mereka menginap dikepung dan dibakar. Aksi pembakaran dan penjarahan meluas ke hampir semua penjuru kota, dimulai dari serangan terhadap gedung-gedung pemerintahan dan disusul serangan terhadap toko dan gereja.
Salah seorang anak remaja hilang dalam amuk massa itu adalah Budi Hidayat, anak Fajariah. Budi masih duduk di bangku madrasah tsanawiyah atau SMP. Meski Fajariah sudah merelakan “kepergian” anak ketujuh, tetapi rasa perih masih terasa menyayat hatinya tanggal 23 Mei sudah tiba.
“Seandainya saat itu saat tidak mengizinkan dia melihat kerusuhan, mungkin tidak begini kejadiannya. Tetapi kami sudah ikhlas dan menganggap dia sudah meninggal,” ujar Fajariah di Banjarmasin Post, Jumat, (23/5/2014).
Husnul Khotimah dalam tesisnya, “Collective Memory "Jum'at Kelabu”, menyimpulkan bahwa konflik atau kerusuhan yang terjadi di Kota Banjarmasin pada 1997 merupakan konflik politik yang dibumbui oleh agama dan kesenjangan ekonomi-sosial masyarakat. Kerusuhan ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat atas berbagai masalah yang menimpa bangsa Indonesia, khususnya Kota Banjarmasin.
Sejarawan Islam di kampus IAIN Palangka Raya, Muhammad Iqbal, dalam tulisannya, “Amuk di Akhir Kuasa Orba: Detik demi Detik Jumat Kelabu Banjarmasin”, Tirto, 23 Mei 2021, menulis “Jumat Kelabu 23 Mei 1997 adalah drama tragis di pengujung kekuasaan diktator Soeharto. Hari itu, Banjarmasin menjadi tong sampah besar di mana segala amuk ditumpahkan, sinisme diumbar, kebencian disalurkan, dan kesumat dilampiaskan. Amarah dan darah seperti karib yang tak terpisahkan. Ada yang terluka, ada yang kehilangan harta benda, bahkan ada yang kehilangan anggota keluarga.”
Hingga kini, tragedi 23 Mei 1997, yang menghancurkan sisi kehidupan Banjarmasin itu belum terungkap. Dengan alasan apa pun, pengalaman pahit itu tidak boleh terulang lagi di Kalimantan Selatan dan jangan pernah terjadi di daerah lain.