Alasan Mengapa Perempuan Selalu Dijadikan Objek Hantu di Industri Film Horor Indonesia
ERA.id - Kuntilanak (2006), Suster Ngesot the Movie (2007), Suster Keramas (2009 dan 2011), Bangkitnya Suster Gepeng (2012), Pengabdi Setan (2017), Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan KKN di Desa Penari (2022).
Pencinta film horor Indonesia mungkin tak asing lagi dengan judul-judul film di atas. Film (horor) Indonesia digedor lagi setelah pandemi membuat semuanya terjeda. KKN di Desa Penari yang menjadi pemantiknya.
Film itu per tanggal 24 Mei 2022 sudah tembus 7.777.777 penonton. Jelas tidak saja menjadi film horor dengan penonton terbanyak setelah Pengabdi Setan, tetapi menjadi film dengan penonton terbanyak sepanjang masa di Indonesia, menggeser Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016)—yang enam tahun bertengger di posisi pertama.
Untuk urusan bisnis dan euforia terhadap industri film, hal tersebut adalah kabar gembira. Namun, bagaimana dengan sisi kualitasnya? Atau, tawaran apa saja yang disodorkan oleh sineas Tanah Air untuk penikmat film (horor) Indonesia?
Melihat film yang sudah-sudah, tampak menu horornya masih seragam , alih-alih menawarkan kesegaran. Pemeran utamanya masih perempuan dan kerap berlokasi di pedesaan. Ada apa dengan “perempuan”?
Veronika Kusumaryati dalam antologi esai bersama, Hantu-Hantu dalam Film Horor Indonesia, membagi karakter hantu perempuan yang sering muncul dalam film horor Indonesia. Menurutnya, terbagi menjadi tiga.
Pertama, kuntilanak dan sundel bolong. Kedua, siluman, misal siluman ular. Ketiga, berbagai makhluk gaib yang memiliki sifat menakutkan tapi tidak dapat disebut sebagai hantu, seperti Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong.
Dalam tulisan “Ketimpangan Representasi Hantu Perempuan pada Film Horor Indonesia Periode 1970—2019”, mencoba menguraikan fenomena hantu perempuan di film Tanah Air. Karya ilmiah tersebut ditulis oleh Annisa Winda Larasati dan Justito Adiprasetio di ProTVF: Jurnal Kajian Televisi dan Film.
Bila di Indonesia ada kuntilanak, di Malaysia dan Singapura ada “pontianak”, seperti dalam film Sumpah Pontianak (1958) dari Singapura dan Pontianak Harum Sundal Malam (2004) dari Malaysia. Tidak saja makanan dan tarian-tarian yang sama antara Malaysia, Singapura, dan Indonesia, bahkan hantu pun. Ini tidak lepas dari sejarah panjang antara tiga negara tersebut.
Pada industri film horor Indonesia, hantu sosok perempuan lebih sering dihadirkan dibandingkan hantu laki-laki. Mungkin saja, ini disebabkan budaya patriarki di Indonesia yang sudah mendarah daging di pikiran banyak orang. Perempuan ditempat di posisi bawah, lebih sering tertindas dan teraniaya.
Sehingga, sosok hantu perempuan yang ditampilkan pada film horor Indonesia, yakni sebuah sindiran yang ingin membalas dendam atas perlakuan selama hidupnya dalam wujud hantu.
Kalau dihitung-hitung, sebenarnya ada berapa sosok hantu di film horor Indonesia? Menurut Annisa dan Justito dalam artikel tersebut bahwa film horor di Indonesia yang diproduksi sejak 1970 hingga 2017 berjumlah 559 film.
Dari jumlah film itu, perempuan hampir selalu menjadi tokoh sentral dalam film horor yang direpresentasikan sebagai hantu atau monster. Kesukaan para pembuat film horor menjadikan perempuan sebagai sentral, kemungkinan besar, karena menarik ditonton oleh publik perfilman, dibandingkan hantu-hantu laki-laki.
Kehadiran sosok hantu perempuan yang kerap muncul karena sineasnya adalah laki-laki sehingga perempuan hanyalah obyek semata. Apakah betul?
Mengutip lagi pendapat Annisa dan Justito dalam kesimpulan mereka bahwa “sekalipun jumlah sutradara perempuan yang menyutradarai film horor meningkat pada periode pasca 2010, film-film yang disutradarai oleh perempuan tidak benar-benar dapat lepas dari kungkungan budaya patriarki dan misoginisme. Dibutuhkan lebih banyak lagi perspektif perempuan yang lebih progresif untuk mewarnai wacana horor Indonesia.”